PRESIDEN Joko Widodo baru saja menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim Conference of the Parties ke-26 atau COP26 di Glasglow, Skotlandia akhir Oktober lalu.
Pada forum yang menghadirkan para pemimpin dunia untuk membangun komitmen bersama dalam memerangi perubahan iklim tersebut, presiden menegaskan kontribusi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.
Beliau mendemonstrasikan prestasi Indonesia yang telah berhasil menurunkan laju deforestasi hingga terendah dalam 20 tahun terakhir.
Indonesia juga disebutkan sedang intens membangun ekosistem mobil listrik berbasis baterai dengan bahan dasar nikel.
Ini adalah langkah konkret Indonesia dalam mendukung transisi global menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
Akan tetapi pengakuan ini perlu dilihat lebih mendalam dan menyeluruh.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa daerah-daerah yang kaya nikel, seperti Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di tengah kontraksi ekonomi provinsi lainnya sepanjang 2020.
Pada triwulan II 2021, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara juga mencatatkan pertumbuhan tinggi masing-masing 15,39 persen dan 16,89 persen yoy.
Namun demikian, daerah penghasil nikel utama tersebut juga tengah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang masif akibat eksploitasi nikel yang tidak terkendali.
Penggalian nikel telah menyebabkan pencemaran lingkungan dan menggerus daya dukung ekologi. Pulau Maniang di Kolaka misalnya kabarnya ditinggalkan begitu saja oleh sebuah perusahaan tambang yang mengeksploitasi wilayah itu sejak 1959 tanpa rehabilitasi.
Di Halmahera Timur, sebuah perusahaan penghasil nikel utama di Indonesia disuarakan pegiat lingkungan telah merusak Pulau Maba dengan menggali nikel tanpa ada langkah pemulihan lahan.
Perusahaan-perusahaan lain juga tidak jauh berbeda. Konawe, Konawe Utara, dan Morowali sedang dilanda kehancuran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel.
Laut yang dulunya biru belakangan berubah warna menjadi cokelat kemerahan akibat erosi lahan-lahan bekas tambang. Akibatnya, muncul keluhan nelayan semakin sulit mencari ikan.
Masyarakat juga mulai familiar dengan banjir yang semakin sering terjadi.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir misalnya, Konawe Utara telah mengalami banjir bandang setidaknya delapan kali.