Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Bangsa Lain Bersiap ke Mars, Kita Masih Ribut soal Patung

Kompas.com - 02/10/2021, 07:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TIAP September hingga Oktober energi bangsa ini selalu terkuras dengan persoalan lama yang tidak ada habisnya. Seakan seperti menjadi proyek abadi. Luka lama dikuak kembali.

Pernyataan-pernyataan pembangkit emosi diletupkan. Narasi-narasi minor seperti pemberontakkan, pengkhianatan, gerakan 1 Oktober atau Gestok misalnya, selalu diumbar.

Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya, pembakaran aksesori seperti bendera dan logo palu arit kerap terjadi. Ini lucu. Simbol-simbol itu mereka yang buat dan mereka juga yang membakarnya. 

Bersyukurnya, aksi-aksi pembakaran kini telah hilang. Tetapi suara-suara soal penyusupan bahaya komunis masih terus terjadi.

Terakhir Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyebut, aksi penyusupan bahaya komunis telah terjadi di tubuh TNI-AD. Tidak tanggung-tanggung, malah masuk ke “jantungnya” TNI AD. Tepatnya di Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Tudingan Gatot bersumber dari potongan video yang memperlihatkan hilangnya diorama penumpasan G30S/PKI serta patung tokoh-tokoh yang terlibat dalam penumpasan PKI seperti Soeharto, Abdul Haris Nasution, dan Sarwo Edhi Wibowo di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Jakarta.

Gatot melontarkan sinyalemen ini saat menjadi narasumber di webinar Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, Minggu, 26/9/2021).

Baca juga: TNI Dituduh Disusupi PKI Gara-gara Bongkar Patung Sejarah G30S/PKI, AY Nasution: Tudingan Terlalu Dangkal

Semula kolega di Universitas Padjadjaran mengajak saya untuk ikut webinar ini. Begitu melihat para pembicaranya, saya memutuskan tidak ikut. Mudah ditebak ke mana arah mana pembicaraan webinar ini berlangsung.

Bagaimana mungkin pensiunan bintang empat bisa menyimpulkan adanya penyusupan komunis di tubuh TNI-AD hanya berdasarkan informasi sumir dan perkara patung? Kalau hanya sekedar warning tentang bahaya komunisme boleh-boleh saja.

Andai ayah saya masih hidup, ia yang hanya berpangkat sersan mayor TNI AD pasti akan mencari informasi akurat sebelum mengambil kesimpulan. 

Saya yakin ayah saya yang terlibat dalam operasi Trisula yaitu penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, Jawa Timur, tidak akan bisa terima kesimpulan ini.

Atau, andai kakak saya yang berpangkat kapten TNI-AD masih ada, dia pasti juga tidak mudah percaya begitu saja tentang patung yang dikaitkan dengan komunis.  Mendiang kakak saya ini terlibat dalam operasi Seroja di Timor-Timur.

Saya yakin seyakin-yakinnya, ayah dan kakak saya yang berbeda pandangan dengan Jenderal Gatot Nurmantyo.

Belajar dari Om Herman

Peristiwa 1965 masih meninggalkan luka sejarah yang menganga hingga saat ini. Di era Orde Baru Soeharto sejarah selalu ditafsirkan oleh pihak yang menang.

Sejak kecil saya yang tumbuh dalam keluarga tentara selalu dicekoki dengan “kedigjayaan” tentara. Soeharto bagi ayah saya adalah hero. Bisa makan dan sekolah adalah bukti kedermawanan Orde Baru.

Padahal, saya masih ingat ayah saya kerap menunggak pembayaran uang sekolah saya dan kakak-kakak saya selama berbulan-bulan.

Menu makanan pun hanya itu-itu saja. Bagi saya dan kakak-kakak saya, lauk tempe adalah sumber penyakit darah tinggi.

Sementara bagi orang tua saya, tempe sangat menyehatkan untuk menutupi ketidakmampuan membeli daging ayam.

Saya dan kakak-kakak saya pun protes. Tempe lagi, tempe lagi setiap hari tersaji di meja makan dengan sambal. Apa tidak darah tinggi yang kumat.

Setiap September, sejak SD hingga SMA, saya selalu "digiring" para guru untuk menonton film Pengkhianatan G30S PKI. Tak lupa diabsen agar tidak ada yang bolos menonton film itu. 

Apa yang saya lakukan bersama teman-teman saat menyaksikan film ini adalah tidur atau berusaha keluar dari gedung bioskop lebih awal dengan alasan tidak enak badan karena bosan berkali-kali melihat kekerasan dalam film tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com