KOMPAS.com - Saat mendengar kata santet, konotasi yang digambarkan biasanya adalah bagian dari ilmu hitam.
Anggapan yang paling sering dibicarakan publik yaitu, santet sebagai ilmu yang dapat mencelakai orang yang tidak disukai atau membuat orang lain suka pada seseorang.
Menariknya, ternyata santet tidak selalu untuk sesuatu yang buruk. Bahkan tidak seperti yang kadangkala digambarkan oleh film atau sinetron.
Santet juga ada yang asalnya dari ilmu putih atau bertujuan positif.
Fakta mengenai santet ini digali lebih luas oleh 5 mahasiswa yang tergabung dalam Tim Program Kreativitas Mahasiswa-Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) UGM.
Mereka meneliti mengenai bagaimana santet dipahami masyarakat dan bagaimana pemahaman tersebut dapat berubah dari suatu yang memiliki nilai positif kemudian menjadi sepenuhnya negatif.
Tim yang terdiri dari Izza (Arkeologi 2019), Derry (Bahasa dan Sastra Indonesia 2019), Ana (Arkeologi 2019), Syibly (Psikologi 2018), dan Fadli (Sastra Jawa 2018) menemukan jawabannya.
Mereka menemukan bukti bahwa santet tidak selalu tentang ilmu hitam, dengan melibatkan sejumlah pihak untuk diwawancara, analisis digital serta analisis tekstual terhadap berbagai teks.
Baca juga: Tim UGM Temukan 4 Fakta Santet, Tak Melulu Ilmu Hitam
“Pemahaman masyarakat Indonesia secara umum terhadap santet dapat dibilang hanya sampai pada simpang siur tanpa adanya bukti valid. Minimnya pengetahuan berbukti valid itu bermuara pada terbentuknya beragam persepsi masyarakat. Mayoritas persepsi tersebut menilai santet sebagai suatu hal yang negatif dan sudah selayaknya ditinggalkan. Persepsi tanpa dasar semacam ini kerap melahirkan reaksi tanpa argumen dan hanya berdasar sentimen belaka,” terang Izza dilansir dari laman UGM.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Izza dan tim, menunjukkan jika santet sudah mengakar di dalam masyarakat Jawa. Hal itu terekam dalam peninggalan-peninggalan tekstual seperti manuskrip dan aktivitas manusia pada waktu itu.
Secara tekstual, kata santet tidak ditemukan dalam manuskrip.
Kata yang memiliki hubungan erat dengan santet adalah kata sathet yang dimuat dalam Serat Wedhasatmaka tahun 1905 yang berarti ‘jenis pesona dengan menggambar’.
Meskipun secara tekstual kata santet tidak terdapat dalam beberapa manuskrip sebagai objek kajian data, hal ini dirasa wajar sebab dalam kasusastran Jawa santet merupakan akronim dari mesisan kanthet dan mesisan benthet.
Izza dan tim sendiri, mendapat fakta ini setelah melakukan wawancara yang dengan Wisma Nugraha yang merupakan Dosen FIB UGM.
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara), masyarakat Jawa khususnya Banyuwangi terungkap bahwa sifat dari santet adalah membuat sesuatu menjadi rekat sekalian (mesisan kanthet) ataukah justru sebaliknya yaitu membuat sesuatu menjadi retak atau pecah sekalian (mesisan benthet).
Oleh karena itu, santet dalam pikiran orang Jawa pada waktu itu memuat dua nilai yakni nilai positif atau kebaikan yang tergambarkan melalui piranti-piranti dan konsep yang membingkai santet menjadi positif dan paradigma nilai santet yang negatif akibat penyalahgunaan santet tersebut.
Baca juga: Dukun Santet Tepergok Petugas Damkar, Berawal dari Tetangga Mengira Ada Kebakaran