Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Cerita Para Setan tentang Kenapa Mereka Menjadi Setan

Kompas.com - 25/09/2021, 06:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA sering bertanya-tanya, kenapa para ilmuwan kita tidak melakukan penelitian kepada masyarakat setan?

Faktanya, kita sering mendengar cerita tentang setan, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Di Indonesia ada kuntilanak, genderuwo, pocong, dan sejenisnya.

Di Eropa ada drakula dan vampir. Di China ada jiang shi yang jalannya lompat-lompat. Dan banyak lagi jenis-jenis setan dari mancanegara.

Tapi, kita tidak tahu banyak tentang mereka dan dunia mereka. Sementara, mereka dan dunia mereka bisa jadi adalah masa depan kita.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya perlu menyampaikan disclaimer bahwa mungkin saja penggunaan terminologi setan di tulisan ini berbeda dengan yang Anda pahami.

Perbedaan itu muncul bisa karena faktor agama atau budaya masing-masing orang. Faktor lain, ya karena persoalan ini masih menjadi misteri abadi hingga kini dan masih minim studi yang membahas dunia persetanan. 

Ok, mari kita "jalan-jalan" bersama membahas salah satu misteri abadi ini. Anggap saja ini bahan overthinking Anda sebelum bisa membunuh kegabutan jelang tidur malam. 

Mungkinkah kita mendekati dunia persetanan tidak dengan perspektif kegaiban yang menakutkan, atau perspektif agama yang dogmatis, tapi dalam perspektif ilmu pengetahuan demi memahami alam semesta kita yang penuh misteri?

Kelahiran kita di dunia merupakan misteri karena ketiba-tibaannya yang membawa manusia hadir dalam kehidupan. Martin Heiddeger menyebutnya sebagai keterlemparan (Geworfenheit). Dasein yang terlempar begitu saja ke dunia.

Setelah mengalami keterlemparan itu, manusia tidak tahu harus berbuat apa. Juga tidak tahu tentang alam semesta tempat dia hidup. Dalam ketidaktahuan itu, arah perjalanannya pasti: kematian, meski manusia tidak pernah tahu kapan akhir perjalanan itu tiba.

"Manusia adalah ada yang menuju kematian, sein sum tode," kata Heiddeger.

Mengenal dunia setan adalah mengenal sebagian saja tentang alam kematian. 

Kerja-kerja ilmu pengetahuan di awal mulanya pada abad pertengahan adalah kegairahan untuk menyelidiki dunia tempat manusia yang terlempar tiba-tiba ini.

Ah, setan itu kan tidak kelihatan. Tidak valid untuk dijadikan objek penelitian. Eh, nanti dulu. Gaya gravitasi yang dicetuskan Isaac Newton pun sama tidak kelihatannya.

Tapi, berkat Newton, fisika modern berkembang sedemikian rupa dan menjadi pondasi kehidupan kita saat ini.

Bahkan, teori Einstein soal ruang dan waktu yang melengkung sebagai penyempurnaan dari gravitasi Newton pun tidak kelihatan. Fisika kuantum yang meneliti tentang sifat-sifat materi paling kecil pun bukan tentang hal-hal yang kelihatan.

Dulu kita punya ilmuwan seperti Carolus Linnaeus (1707-1778) yang begitu bergairah melakukan klasifikasi makhluk hidup. Tidak adakah ilmuwan yang punya gairah yang sama melakukan klasifikasi masyarakat setan?

Linnaeus mengembangkan klasifikasi makhluk hidup berdasarkan hirarki. Hirarki pertama adalah kerajaan, diikuti divisi, kelas, ordo, famili, genus, dan spesies.

Jangan-jangan para penghuni alam semesta persetanan pun juga terklasifikasikan dalam tingkatan-tingkatan macam itu. Apakah kuntilanak, genderuwo, dan arwah gentayangan berada dalam kelompok kerajaan yang sama atau berbeda? Jangan-jangan satu ordo, tapi beda famili. Kita tidak tahu.

Clifford Geertz, antropolog Amerika yang termasyur itu, juga begitu bergairah menyelami kebudayaan Jawa dan membagi masyarakat Jawa dalam tiga kategori: santri, abangan, priyayi.

Tidak adakah “antropolog” modern yang mencoba menyelami dunia persetanan dan melakukan studi etnografis tentang tatanan masyarakat persetanan?

Jangan-jangan, masyarakat setan pun terbagi dalam kelas proletariat dan borjuis ala Karl Marx, misalnya.

Dua alasan kenapa penelitian ini relevan?

Ada dua alasan kenapa penelitian macam ini relevan buat kita. Alasan pertama, dunia persetanan adalah dunia yang akan dimasuki manusia setelah kematian. Sering kan kita dengar orang meninggal yang arwahnya gentayangan, jadi setan.

Kenapa ada manusia yang meninggal menjadi arwah gentayangan, sementara yang lain tidak?

Jadi, penelitian tentang setan sebenarnya juga penelitian tentang masa depan kita sendiri. Apa yang terjadi setelah kematian.

Para ilmuwan bisa bertanya kepada setan bagaimana tatanan masyarakat dan kebudayaan di sana. Bagaimana manusia yang sudah mati harus menyesuaikan diri. Jangan sampai terjadi culture shock.

Jadi, semacam penelitian sosiologis kepada setan-setan dengan pendekatan etnografi untuk mendapat gambaran apa sih yang akan terjadi setelah kematian.

Selama ini kan manusia hanya berpegang pada ajaran agama. Sementara, pandangan agama tidak empirik.

Bukankah besar kemungkinan penelitian empirik atas dunia persetanan ternyata menghasilkan pemahaman berbeda dengan keyakinan agama?

Bisa jadi malah menghasilkan pemahaman yang jauh lebih mendamaikan manusia yang sering bertikai karena agama. Ini terobosan. Sangat menarik sebagai sebuah studi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com