SEJARAH kolonialisme menunjukkan bahwa persoalan utama bukan saja masalah kolonialisme yang membawa kapitalisme banal namun juga perilaku para penguasa pribumi.
Ketika para penguasa mendapat kekuasaan dan mandat rakyat, mereka menjadi lupa diri dan menumbuhkan kuktur melayani diri sendiri atas nama rakyat.
Para penguasa bekerja sama dengan korporasi global dan kekuasaan kolonial menjadikan rakyat sebagai sapi perahan.
Seorang guru besar bangsa yakni Tjokroaminoto menyatakan, “Saatnya, kita tidak lagi jadi sapi perahan .“
Kata “rakyat“ memang serba paradoks. Di satu sisi kata itu dipenuhi kemuliaan. Sebutlah, “suara rakyat, suara Tuhan “.
Di sisi lain justru merepresentasikan serba terbuang, rendah, dan dikorbankan. Sebutlah, “kelas rakyat “. Layaknya di fasilitas umum, ungkapan itu memikli citra serba bau dan kotor. Atau sebut juga “ wajah kerakyatan“ yang berkonotasi miskin dan kurus.
Meski begitu, kata “rakyat“ menjadi modal besar diperjualbelikan untuk meraih kemenangan dalam Pemilu.
Simak sejarah tokoh dunia dan jargonnya atau jargon para kontestan pemilu. Atau ambilah contoh, kemenangan Jokowi tidak lepas dari citra “wajah kerakyatan“.
Berkait dengan berbagai bentuk krisis kemanusiaan dalam sejarah, layaknya pandemi, sejarah juga menunjukkan terdapat dua jenis kepemimpinan politk :
Pertama, kepemimpinan yang memandu warga dengan berani terbuka melihat fakta dan data untuk membaca masalah sebagai peta bersama memecahkan krisis.
Kenegarawanan pemimpin seperti ini muncul karena mampu mengajak warga untuk bersama-sama memecahkan krisis pandemi dengan panduan terukur, baik kemajuan maupun hambatannya, tanpa perlu menutupi beragam hambatan karena ketakutan menurunnya citra politiknya atau ketakutan rakyat menjadi panik dan tidak mampu membangkitkan.
Sejarah hari ini menunjukkan, kepemimpinan dengan model semacam ini bisa dilihat di bernagai negara. Mereka mampu membawa kemajuan pemecahan pandemi setahap demi setahap serta terpandu.
Kedua, jenis kepemimpinan yang melayani kepopuleran citra diri sebagai juru selamat. Kepemimpinan semacam ini sangat tabu membuka berbagai masalah dan hambatan.
Dengan kata lain, model kepemimpinan politik semacam ini mengambil jurus pameran perhatian serba juru selamat dan jargon sisi keberhasilan bahkan tidak peduli meski sisi kekacauan dan masalah justru sangat besar.
Pemimpin semacam ini mampu dengan jargon dan laku juru selamat mengelola kultur “maklum“ dan “lupa“ rakyat untuk terkesima oleh simbol-simbol keselamatan yang sesungguhhnya jauh dari kenyataan.