DALAM kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari ragam budaya populer seperti musik, film, sinetron, iklan, fashion, media sosial, dan lain-lain. Banyak dari kita bahkan yang memiliki ketertarikan bahkan ketergantungan akan produk-produk budaya populer.
Salah satu contohnya adalah candu akan hiburan K-Pop Culture, salah satunya adalah BTS (Bangtan Boys), grup musik idola asal Korea Selatan besutan Big Hit Entertainment.
Popularitas BTS di dunia sudah tidak diragukan lagi. Dalam hitungan menit saja lagu-lagu mereka berhasil ditonton jutaan orang. Channel YouTube resmi HYBE Labels mereka telah memiliki 59.5 juta subscribers.
Akhir Mei 2021 BTS melakukan kolaborasi dengan McDonald (produk makanan cepat saji asal Amerika). Keduanya mengeluarkan produk BTS Meal yang mendapatkan respon luar biasa dari seluruh Army Indonesia (sebutan untuk penggemar BTS).
Paket BTS Meal ramai diserbu oleh para Army di Indonesia. Banyak driver ojek online yang mengantre melalui layanan drive-thru (tanpa turun) di gerai-gerai McDonald selama berjam-jam hanya untuk mendapatkan BTS meal yang dipesan oleh para Army.
Tidak hanya itu, para Army bahkan rela merogoh kocek mahal mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan dan mengoleksi benda-benda yang terkait dengan idola mereka yang dijual secara online oleh reseller.
Sebagian dari kita yang bukan penggemar boyband asal Korea Selatan ini mungkin akan merasa heran mengapa para Army Indonesia begitu antusias untuk membeli produk-produk bungkus makanan cepat saji yang bertemakan BTS.
Bagaimana produk budaya populer ini bisa menghipnotis massa untuk menggilai atau menjadi fetish terhadap produk-produk tertentu? Apakah konsumen hanya diproyeksikan sebagai objek produksi saja?
Baca juga: BTS Meal dan Imajinasi Fiktif Homo Sapiens
Masuknya industri hiburan Korea Selatan di Indonesia memang sudah teridentifikasi sejak 90-an, kemudian semakin berkembang pada 2000an hingga memunculkan fenomena demam K-Pop dalam 10 tahun terakhir.
Sejak periode Hallyu (Gelombang Korea) pada 1990-an, produk budaya populer (film, drama serial, dan K-Pop Music) telah menyebar di berbagai negara Asia seperti China, Hongkong, Malaysia, hingga Indonesia.
Sejak muncul kekuatan baru ini, industri hiburan Korea Selatan terus melakukan inovasi dan menciptakan pola-pola produksinya untuk meraih popularitas dan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Raymond Williams memaknai budaya popular sebagai objek atau praktik yang diminati oleh banyak orang atau kerap dianggap remeh-temeh. William juga menambahkan bahwa pop culture diproduksi untuk mengakomodasi selera masyarakat umum atau dalam konteks kapitalisme ia diproduksi secara komersial untuk dikonsumsi.
Pop culture bisa dipahami dengan membandingkannya dengan high/elite culture, budaya tradisional-lokal, dan budaya nasional (Ariel Heryanto). Artinya pop culture diasumsikan sebagai budaya residual, recehan, tidak bernilai seni tinggi, dan kerap dianggap sebagai budaya yang tidak perlu mendapatkan perhatian serius.
Namun, dalam pandangan kritis pop culture bukan hanya sekedar hiburan saja, akan tetapi, bermuatan ideologis bahkan politis. Contohnya di era Orde Baru. Film dan media massa digunakan sebagai propaganda politik oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaaan dan bahkan berperan penting dalam mengkonstruksi persepsi masyarakat.
Ketika menonton sinteron sehari-hari, kita melihat bagaimana seharusnya hidup berkeluarga yang "benar", menjadi suami atau istri yang "baik", bahkan gambaran umum tentang sosok ibu tiri yang kerap dihadirkan sebagai individu yang jahat dan kejam.