Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

BTS Meal dan Imajinasi Fiktif Homo Sapiens

Kompas.com - 12/06/2021, 08:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERKENALKAN: BTS Meal, produk terbaru keluaran restoran cepat saji McDonald. Isinya nugget, french fries atau kentang goreng, minuman kola, dan dua saus yaitu cajun dan sweet chilli.

Ini bukan produk biasa. Konon, dinarasikan oleh McDonald, ini menu favorit yang biasa dipesan grup musik BTS asal Korea Selatan.

Yang membuatnya istimewa bukan paket makanannya, tapi bungkus makanan yang menggunakan warna khas BTS yaitu ungu, berbeda dengan warna khas McDonald yang merah dan kuning.

Sontak menu baru ini diserbu Army, nama penggemar BTS. Antrean ojek online mengular di gerai-gerai McDonald di sejumlah wilayah di Indonesia. Karena menimbulkan kerumunan, sejumlah gerai ditutup aparat berwenang. 

Baca juga: Kehebohan BTS Meal, Antrean Ojol Mengular hingga Gerai McD Disegel

Menteri Erick Thohir tak ketinggalan ikut berburu untuk anaknya. Baca juga: Ikut Berburu BTS Meal, Erick Thohir: Buat Anak Saya

Chef Arnold, juri acara MasterChef, harus merogoh Rp 3 juta untuk mendapatkan menu yang lagi happening ini. 

Bah, Rp 3 juta untuk nugget dan kentang goreng. Maaf, ini bukan nugget atau kentang goreng. Ini BTS meal. Beda, Bos.

Baca juga: Chef Arnold Bayar Rp 3 Juta Demi BTS Meal

Anda mungkin sulit membayangkan. Tapi, ini bukan kasus baru. Ada orang yang dengan gembira merogoh ratusan juta rupiah untuk sebuah Hermes. Itu lho, sejenis tas jinjing yang biasa dipakai para perempuan.

Hah, tas jinjing kecil seharga ratusan juta? Maaf, ini bukan tas jinjing. Ini Hermes. Beda, Bosque.

Anda yang tidak familiar dengan Hermes barangkali familiar dengan Brompton. Ada orang yang rela mengeluarkan uang seratus juta untuk sebuah Brompton.

Alamak, sepeda seharga mobil? Maaf, ini bukan sepeda. Ini Brompton. Beda, Bro.

Atau Anda mungkin ingat, beberapa tahun lalu orang mengantre membeli sebuah batu bata dengan logo Supreme seharga Rp 1,5 juta. Batu bata? Sekali lagi maaf, ini bukan batu bata. Ini Supreme. Beda, Kawan.

Nilai tanda dan fetisisme komoditas

Barangkali kita sulit membayangkan fenomena di atas. Tapi sesungguhnya ini realitas kita sehari-hari: mengonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan primernya tapi karena tanda dan makna yang dilekatkan para pedagang pada komoditas itu.

Ini sebenarnya urusan sederhana: soal dagang. Mencari untung. BTS Meal cuma perkara dua jenis saus baru McD.

Tapi dibuat sedemikian complicated oleh para saudagar agar pembeli merasakan sensasi abstrak pada barang yang dibeli. Sensasi itu serupa ectasy, nagih dan ingin lagi, lagi, dan lagi.

Setelah era revolusi industri di abad ke-19, peradaban penghuni planet ini bergulir ke era konsumsi di abad ke-20. Mode of production telah digantikan oleh mode of consumption, kata Jean Baudrillard, sosiolog dan filsuf asal Perancis.

Menurut Baudrillard, seluruh kehidupan manusia adalah objek-objek konsumsi. Melalui objek-objek yang dikonsumsi itu manusia menemukan makna dan eksistensi dirinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com