Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Perjuangan Membuktikan Lubang Hitam Ada

Kompas.com - 06/11/2020, 08:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SATU di antara sekian banyak konundrum (teka-teki) semesta jagad raya adalah apa yang disebut sebagai black hole mengemas apa yang disebut sebagai ruang dan waktu secara ekstrem di luar kemungkinan matematikal bersuasana singular sekaligus plural.

Konon menurut NASA, lubang hitam adalah para sesuatu di ruang angkasa luar di mana pada saat sebuah benda angkasa sekarat menimbulkan suatu daya sedemikian dahsyat sehingga menghisap segala-galanya termasuk cahaya sedemikian rupa sehingga daya indera manusia mustahil sanggup melihatnya.

Tidak kalah menarik adalah keheranan Prof Marcia Bartusiak dari MIT tentang bagaimana sebuah gagasan yang tidak dihiraukan oleh kaum Newtonian, dibenci oleh Einstein dan diduga-duga oleh Hawking bisa menjadi begitu digemari oleh masyarakat planet bumi abad XX lanjut ke XXI.

Imajinasi

Pertanyaan yang juga gentayangan adalah apabila lubang-hitam memang benar-benar ada secara benar-benar hitam dalam makna benar-benar gelap-gulita akibat benar-benar paling hitam sehingga tidak kasat-mata lalu bagaimana manusia bisa melakukan pengamatan berdasar keterbatasan daya indera lihat mau pun teropong berdaya paling dahsyat buatan manusia yang tidak pernah bisa sempurna mengingkari keterbatasan daya indera.

Sebenarnya black hole belum layak disebut sebagai hipotesa mau pun teori sebab baru merupakan imajinasi gagasan demi menghindari istilah ilusi beberapa insan yang kebetulan tersohor maka memiliki kewibawaan untuk layak dipercaya.

Di dalam keserba-tidak-tahuan, saya pribadi gemar berkhayal bahwa fungsi black hole di angkasa luar pada hakikatnya mirip-mirip pusaran air yang kerap terjadi di perairan planet bumi termasuk pada saat malapetaka tsunami sebagai suatu bentuk puting-beliung samudra yang bukan bergerak ke langit namun ke dasar samudra sambil secara (mungkin) spiralistis menyedot segenap kehidupan termasuk para manusia yang meneliti pusaran air di samudra ke dalam malapetaka kemusnahan.

Menarik bahwa mahapujangga musik dan syair Jawa, Anjar Ani pada medio abad XX sudah menggunakan istilah sumedot di dalam mahakarya beliau beraroma astrofisika Yen Ing Tawang Ono Lintang.

Ragu

Pada tahun 2020, Komite Anugrah Nobel menganugrahkan Penghargaan Nobel untuk Fisika (kapan untuk Matematika?) kepada tiga saintis Sir Roger Penrose, Reinhard Genzel dan Andrea Ghez yang telah bersusah-payah ikut berjuang membuktikan bahwa black holes memang bukan sekedar gagasan imajinatif apalagi ilusi tetapi benar-benar ada.

Baca juga: Nobel Fisika 2020 Diraih 3 Ilmuwan Penemu Lubang Hitam

Kalimat “tiga penerima anugrah Nobel untuk Fisika tahun 2020 ikut berjuang membuktikan bahwa black holes benar-benar ada” memicu curiga bahwa sebenarnya black holes masih berada pada tahapan proses perjuangan pembuktian akibat memang belum benar-benar terbukti benar-benar ada alias sebenarnya masih berupa gagasan imajinatif demi menghindari istilah ilusi.

Thomas

Secara spiritual, keraguan atas Anugrah Nobel untuk menghargai perjuangan membuktikan lubang-hitam ada pada hakikatnya tidak terlalu tidak senonoh sebab Thomas sebagai satu di antara duabelas rasul Yesus Kristus juga sempat meragukan kebenaran berita gembira bahwa Yesus Kristus telah hidup kembali sebelum dengan mata di kepala sendiri Thomas membuktikan bahwa Sang Mahaguru yang sangat dicintainya memang benar-benar hidup kembali setelah tiga hari jenazahNya disemayamkan di gua kubur di kawasan Golgotha, Jerusalem.

Keputusan Komite Nobel menganugerahkan penghargaan memang tidak obyektif akibat memang pada hakikatnya mustahil ada ukuran yang obyektif baku atau baku obyektif seperti terhadap kecepatan lari, ketinggian lompat atau kejauhan lempar.

Anugerah penghargaan atas prestasi bukan olahraga memang niscaya subyektif. Semisal anugerah Nobel kepada Aung Sansyuki sebelum tragedi Rohingya yang setelah Rohingnya memang layak dipertanyakan keakuratannya. Terutama oleh Amnesty International dan para aktivis HAM di segenap pelosok planet bumi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com