Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

INDEF soal UU Cipta Kerja: Indonesia Sebenarnya Turun Kelas

Kompas.com - 07/10/2020, 18:30 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejak awal pembahasan hingga disahkan pada Senin (5/10/2020) oleh DPR dalam rapat paripurna, UU Cipta Kerja menerima banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Mulai pekerja dan buruh, pencinta lingkungan, akademisi, bahkan pihak investor global.

Masing-masing mengemukakan alasannya tidak sependapat jika omnibus law ini diterapkan. Mayoritas menyuarakan UU Cipta Kerja hanya mendatangkan keuntungan bagi para pengusaha, namun tidak masyarakat pekerja.

Selain itu, kemudahan investasi asing yang dijanjikan Indonesia dinilai berpotensi merusak lingkungan hidup, karena peizinan pendirian usaha yang dipermudah.

Sebelumnya, diberitakan Kompas.com pada 15 September 2020, Deputi Promosi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman mengungkapkan selama ini investor asing lebih tertarik menanamkan modalnya di negara Asia Tenggara lain, misalnya Vietnam, Thailand, dan Filipina.

Alasannya adalah di sana upah buruh, pajak, dan harga lahan lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.

Baca juga: RUU Cipta Kerja, Pemerintah Sebut Harga Lahan hingga Upah Buruh Penghambat Investor

"Dan paling kurang menarik lagi adalah tingkat kenaikan rata-rata upah (buruh di Indonesia) per tahunnya. Indonesia kenaikan upah rata-rata 8,7 persen dan ada tarif-tarif lain yang kita belum bisa bersaing dengan negara-negara di ASEAN lainnya," kata Lukman.

Sementara itu, Kompas.com pada Senin (5/10/2020) memberitakan, Menteri Koordinator bidang Ekonomi Airlangga Hartarto mengatakan UU Cipta Kerja ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja di Indonesia.

Ini dilakukan melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, memberi kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga penciptaan lapangan kerja.

Lalu, apakah UU Cipta Kerja menarik minat para investor ke Indonesia?

Peneliti sekaligus ekonom dari Institut for Development of Economics and Financial (INDEF), Bhima Yudistira, menyebut pembuatan omnibus law UU Cipta Kerja sudah salah sejak awal.

Khususnya, kata dia, pada bagian analisis upah dan produktivitas tenaga kerja.

"Masalah upah itu tidak bisa disamakan dan dipukul rata, bergantung pada jenis pekerjaan dan industrinya," kata Bhima, Rabu (7/10/2020).

"Misalnya upah tenaga kerja di industri otomotif yang butuh skill tinggi, wajar bila upahnya mahal, sementara untuk yang industri alas kaki/sepatu upahnya lebih rendah," ujarnya mencontohkan.

Menurutnya, semestinya hal tersebut tidak dilakukan, kecuali pemerintah memang ingin menjadikan Indonesia bersaing dengan negara-negara seperti India, Bangladesh, dan Ethiopia yang memiliki upah buruh yang rendah.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com