Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mustakim
Jurnalis

Eksekutif Produser program talkshow Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

Pilkada untuk Siapa?

Kompas.com - 23/09/2020, 08:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


SETELAH melalui perdebatan yang panjang, pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat, Pilkada serentak tetap dilanjutkan.

Keputusan ini diambil setelah Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilu Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia yang memimpin raker tersebut menyatakan, Pilkada tidak akan ditunda meski ada sejumlah calon kepala daerah yang terpapar Covid-19. Pilkada Serentak 2020 tetap akan digelar pada 9 Desember 2020.

Desakan penundaan

Sebelumnya, pemerintah didesak untuk menunda Pilkada. Pasalnya, sampai saat ini virus corona masih menggila dan pandemi semakin tak terkendali. Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir angka kasus positif Covid-19 meningkat tajam.

Desakan semakin menguat dengan terpaparnya sejumlah calon kepala daerah. Puluhan calon kepala daerah positif Covid-19. Besar dugaan, hal itu terjadi karena mereka melanggar protokol kesehatan saat mendaftar ke KPU di daerah masing-masing.

Pelanggaran yang dilakukan beragam, mulai dari membuat arak-arakan, menyebabkan kerumunan hingga tidak menjaga jarak saat proses pendaftaran. Tak hanya calon kepala daerah, sejumlah komisioner KPU juga terpapar Covid-19 termasuk Ketua KPU Arief Budiman.

Desakan penundaan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, pengamat politik hingga organisasi yang concern dengan Pemilu. Bahkan, dua organisasi besar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyerukan agar pemerintah menunda Pilkada.

Dua Ormas keagamaan tersebut satu suara, meminta Pilkada ditunda. Nyawa rakyat menjadi taruhannya. Kebijakan penundaan tersebut mesti diambil dengan alasan kemanusiaan. Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan kesehatan dan keselamatan rakyat, bukan memaksakan kebijakan yang mengancam kesehatan dan nyawa orang.

Pilkada jalan terus

Desakan penundaan terus menguat, bahkan ada ancaman Golput alias tidak memilih jika Pilkada tetap digelar. Namun pemerintah dan DPR bergeming. Mereka keukeuh untuk menggelar Pilkada Serentak 2020 Desember tahun ini.

Meski mengaku mendengarkan masukan dari NU, Muhammadiyah dan sejumlah tokoh masyarakat, Presiden Joko Widodo (Jojowi) tetap memutuskan Pilkada 2020 digelar seperti jadwal yang telah ditentukan, yakni 9 Desember.

Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap mengevakuasi pemilih yang pingsan saat akan melakukan pencoblosan ketika Simulasi Pemungutan Suara dengan Protokol Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 pada Pilkada Serentak 2020, di TPS 18 Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (12/9/2020). Simulasi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran kepada pemilih dalam melaksanakan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 ditengah pandemi COVID-19.ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap mengevakuasi pemilih yang pingsan saat akan melakukan pencoblosan ketika Simulasi Pemungutan Suara dengan Protokol Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 pada Pilkada Serentak 2020, di TPS 18 Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (12/9/2020). Simulasi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran kepada pemilih dalam melaksanakan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 ditengah pandemi COVID-19.

Keputusan tersebut diambil setelah ia mendapat masukan dari pimpinan dan lembaga di bidang Polhukam serta telah melalui diskusi yang mendalam. Jokowi beralasan, kebijakan itu diambil guna menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Tak jelasnya kapan pandemi Covid-19 berakhir juga dijadikan alasan.

Selain itu, pemerintah tak ingin 270 daerah dipimpin oleh pelaksana tugas (plt) dalam waktu bersamaan sebagai ekses dari penundaan pilkada. Plt tak memiliki kewenangan mengambil kebijakan strategis. Padahal di masa pandemic ini, pemerintah daerah harus membuat kebijakan-kebijakan strategis guna menangani pandemi dan pemulihan ekonomi.

Revisi PKPU

Belajar dari kasus pendaftaran beberapa waktu lalu, KPU diminta merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 10 tahun 2020. Salah satunya melarang pertemuan yang melibatkan massa seperti rapat umum, konser musik, hingga arak-arakan.

Guna menghindari penularan, kampanye juga harus dilakukan melalui daring, mewajibkan penggunaan masker, hand sanitizer, sabun, dan alat pelindung kesehatan lainnya sebagai media kampanye. Tata cara pemungutan suara juga akan diatur demi menghindari penularan virus corona, khususnya untuk pemilih yang rentan terpapar Covid-19.

Pertanyaanya, apakah pemerintah dan DPR bisa menjamin pengabaian protokol kesehatan yang terjadi saat pendaftaran tak terulang? Apalagi, berbagai pertemuan berpotensi terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com