Ditinggal orang yang kita cintai, hormati, kagumi dan jadikan panutan di hampir separuh hidup memunculkan duka mendalam. Duka karena kehilangan itu membuat banyak hal terasa hambar.
Itu saya alami sejak Rabu (9/9/2020) saat mengetahui kabar meninggalnya Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta.
Saya tidak langsung membaca kabar itu saat peristiwa terjadi dan kabar duka diluaskan pukul 13.05. Lantaran tengah menjadi moderator webinar Indonesia Content Marketing Forum (ICMF) yang digelar Grid.id (Grup Majalah Kompas Gramedia), kabar tertunda saya ketahui.
Ketika acara selesai pukul 14.00, saya mendapati puluhan pesan dan telepon masuk yang tidak terjawab di telepon seluler saya.
Dari informasi yang membuat saya tertegun karena duka ini, banyak hal lantas terasa hambar. Bukan saja hal-hal yang baru saja saya kerjakan, tetapi juga rencana-rencana ke depan terasa hambar.
Dalam suasana seperti ini, Kompas.com yang didirikan pada 14 September 1995 memperingati ulang tahun ke-25. Jumlah tahun yang tidak sedikit untuk sebuah media online yang karena sifatnya mudah tumbuh dan cepat berguguran.
Banyak pengalaman jatuh, bangun, jatuh lagi dan bangun lagi dalam mencari bentuk di tengah derasnya arus perubahan yang menuntut banyak adaptasi atau penyesuaian.
Oleh Jakob Oetama, perubahan ini sudah lama diprediksi dan terjadi seperti menggenapi apa yang beberapa kali dinyatakannya di berbagai kesempatan soal jati diri media massa.
Karena itu, memperingati ulang tahun ke-25 Kompas.com adalah kesempatan untuk memperingati apa yang diwariskan Jakob Oetama untuk diteruskan.
Tentang jati diri media yang harus melakukan banyak penyesuaian atau adaptif terhadap perubahan zaman, Jakob Oetama pernah menegaskannya dalam tulisannya berjudul "Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia".
Tulisan itu muncul di halaman 1 harian Kompas 28 Juni 2010 tepat pada ulang tahun ke-45 harian Kompas. Berikut ini kutipannya:
"Jati diri lembaga media massa, termasuk surat kabar-sebagai bagian dari ekstensi masyarakat (de Volder)-adalah berubah. Tidak hanya berubah dalam cara, menyampaikan kritik with understanding, teguh dalam perkara lentur dalam cara (fortiter in re suaviter in modo), juga dalam sarana atau alat menyampaikan."
Bukan semata-mata karena sebagian dari kita yang enggan berubah tetapi acuan perubahan itu juga terus berubah. Jati diri lembaga media massa adalah berubah.
Perubahan dalam cara, dalam sarana itu dilakukan terus menerus secara dinamis, secara lentur untuk mewujudkan cita-cita atau perkara yang dipegang teguh: Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia.