KEKUASAAN itu amat memesona. Orang bahkan rela menderita atau bahkan menyakiti sesama manusia demi kekuasaan.
Bagaimana tidak, dengan memegang kekuasaan seseorang bukan saja memiliki privilege terhadap yang dikuasainya, tetapi juga memungkinkan si empunya menciptakan sejarah yang berpengaruh dalam kehidupan banyak orang.
Sejarah perjalanan bangsa, peralihan rezim kekuasaan, khususnya di era pasca-kemerdekaan, identik dengan kekerasan yang diikuti instabilitas sosial, ekonomi, dan politik.
Peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru diwarnai dengan penumpasan G30SPKI yang memakan jutaan korban rakyat Indonesia. Begitu juga peralihan rezim Orde Baru ke era reformasi juga diwarnai dengan kekerasan yang juga memakan korban jiwa.
Di era reformasi yang seharusnya hadir untuk merayakan kebebasan dari belenggu kepemimpinan otoriter yang bertahan selama 32 tahun, penegasan identitas budaya dan isu mayoritas-minoritas yang berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa justru kerap dipolitisasi oleh kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan.
Lalu apa itu kekuasaan dan mengapa manusia begitu terobsesi pada kekuasaan?
Filsuf asal Jerman Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan karena keinginan untuk berkuasa ada pada tiap individu.
Hasrat akan kekuasaan (the will to power) merupakan naluri tirani manusia yang memungkinan manusia melakukan apa saja untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan sekalipun harus dengan menyingkirkan orang atau kelompok lainnya yang dianggap mengancam keberadaannya.
Selain penumpasan terhadap simpatisan PKI di era Orde Baru, kita tentu masih ingat dengan operasi penembak misterius (petrus) yang tidak lain adalah strategi pemerintah zaman itu untuk mempertahankan kekuasaan dengan membuat masyarakat bergantung dan patuh pada negara dan militer.
Senada dengan Nietzsche, filsuf anti-finalis asal Perancis, Michel Focault menjelaskan bahwa bentuk kekuasaan mengalami transformasi secara evolutif sejalan dengan perkembangan jaman.
Jika dulu kekuasaan selalu identik dengan kekerasan, represi (Freud, Rich), pertarungan kekuatan (Machiavelli), atau dominasi kelas yang dikaitan dengan penguasaan atas ekonomi dan manipulasi ideologi (Marx), kekuasaan di era modern lebih bersifat produktif dan tersebar.
Bagi Foucault, kekuasaan ada dalam tiap relasi sosial, tersebar, dan beroperasi dalam bentuk manajemen: manajemen energi, kemampuan, dan kehidupan masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu pengetahuan (power/ knowledge).
Ilmu pengetahuan yang memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk mengartikulasikan kekuasaan menjadi alat dominasi andalan yang meminimalisasi kekerasan fisik dan menyulapnya menjadi dominasi simbolik.
Contohnya, relasi sosial antara dokter dan pasien. Dokter yang notabene memiliki pengetahuan tentang medis memiliki kekuasaan atas pasiennya. Kemudian tes wawancara mengekslusi individu yang tidak masuk ke dalam kriteria ‘ideal’ calon pegawai. Demikian juga kriteria kecantikan tertentu yang melahirkan wacana bentuk tubuh “ideal” dan hidup sehat.
Artinya, bentuk-bentuk kekuasaan hegemonik yang ditopang oleh pengetahuanlah yang diandalkan oleh individu maupun kelompok di era modern untuk memantapkan kekuasaan dengan bentuk pendisiplinan (disciplinary power) yang membuat orang secara sukarela “menormalisasi” diri untuk menjadi “ideal”.