Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Semakin Banyak Orang Berbicara di Luar Kapasitasnya?

Kompas.com - 03/08/2020, 19:15 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan video wawancara musisi Erdian Aji Prihartono atau Anji bersama dengan Hadi Pranoto.

Dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19.

Keduanya membicarakan seputar virus corona dan sebuah cairan antibodi herbal yang diklaim bisa menyembuhkan ribuan pasien virus corona Covid-19.

Video itu pun mendapat kritikan dari banyak pihak, baik dari kalangan akademisi maupun sesama publik figur.

Kasus Anji tersebut dinilai hanya sebagian kecil dari semakin banyaknya orang berbicara di muka publik, meski tak sesuai kapasitasnya.

Baca juga: Video Wawancara Anji dan Hadi Pranoto Tuai Kontroversi hingga Dihapus YouTube

Penyebabnya

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, ada tiga faktor di balik semakin maraknya orang berbicara di luar kapasitasnya.

Ketiga faktor itu adalah uncertainty atau ketidakpastian, aksesibilitas media, dan apresiasi audiens.

Menurut Drajat, ketidakpastian terkait virus corona ini memunculkan berbagai spekulasi, baik berbasis ilmu maupun informasi yang berlanjut.

"Seperti kasus Anji itu, dia melanjutkan informasi dari 'pakar', pakar ini sudah diuji atau tidak, bagi dia tidak penting. Yang penting yang ngomong adalah 'pakar'," kata Drajat kepada Kompas.com, Senin (3/8/2020).

"Semakin tinggi ketidakpastian, maka orang menjawab dengan segala macam kemungkinan, baik yang sangat akurat datanya maupun mencoba-coba itu juga semakin tinggi," sambung dia.

Baca juga: Agar Tak seperti Anji, IDI Imbau Figur Publik Selektif Undang Narasumber soal Covid-19

Akses media

Selain itu, banyaknya orang yang berbicara di luar kapasitasnya juga didukung dengan kemudahan akses media di era digital saat ini.

Drajat menuturkan, keterbukaan akses media ini juga memperbesar kemungkinan orang untuk berbicara di luar batas kemampuannya.

Saat ketidakpastian itu menumbuhkan spekulasi dan disampaikan melalui media sosial, maka harapannya adalah mendapat apresiasi dari audiens.

"Apa pun yang diomongkan di media sosial itu kemudian direspons orang. Respons ini menunjukkan ada atensi dan apresiasi audiens," papar dia.

Menurut Drajat, ada dua jenis pengakuan audiens, yaitu pengakuan konten atau kebenaran isi dan pengakuan atas pertunjukannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com