KOMPAS.com - Hai, apa kabarmu pekan ini? Pekan pertama di semester kedua 2020 kita lalui bersama dalam situasi yang berbeda karena pandemi. Juli sebagai awal semester kedua 2020 sedang kita masuki.
Bagi sebagian dari kita, pergantian waktu, pergantian bulan dan perubahan semester tidak lagi ditandai karena semua terasa datar bahkan hambar saat pandemi.
Namun demikian, tetap penting bagi kita untuk menandai waktu. Penting bagi kita mencatat apa yang sudah berlalu dan pergi untuk melawan ingatan kita yang kerap rapuh.
Memasuki pekan lalu sebagai gerbang memasuki Juli, kita masih ingat kejengkelan Presiden Joko Widodo yang dipertontonkan ke publik lewat akun Youtube Sekretariat Presiden.
Karena kejengkelan Presiden Jokowi itu, publik dibuat menoleh sejenak dari kesuntukkan menghadapi pandemi sendiri-sendiri.
Karena kejengkelan yang semula adalah konsumsi internal kabinet itu, kita menjadi tahu bahwa Presiden Jokowi memiliki pembantu yang dipilih sendiri, jumlahnya banyak dan ternyata tidak bekerja.
Kini sudah sepekan lewat sejak kejengkelan Presiden Jokowi disampaikan ke publik. Lebih dari dua pekan sejak kejengkelan itu disampaikan langsung kepada para menteri di Rapat Kabinet Paripurna di Istana Negara, 28 Juni 2020.
Tujuan dari diumbarnya kejengkelan Presiden Jokowi ke publik sudah dicapai yaitu dukungan publik atas langkah-langkah yang akan diambilnya. Dalam kejengkelannya, Presiden Jokowi menyebut akan mengambil langkah-langkah luar biasa atau extraordinary.
Dengan tahapan yang kondisinya disiapkan ini, harusnya, merombak kabinet yang mandek tidak bekerja sesuai harapan seperti dikeluhkan Presiden Jokowi tidak akan lama lagi terjadi.
Mencermati periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi dan nyaris setahun periode kedua ini, tidak pernah rencana perombakan kabinet disiapkan prakondisinya serapi dan sepanjang ini.
Membantu ingatanmu yang banyak dipakai untuk keperluan lebih penting dari pada urusan pergantian menteri, saya bantu tengok dua kali Presiden Jokowi merombak kabinetnya.
Perlu dicatat, dua kali pergantian menteri di periode pertama dilakukan begitu saja tanpa prakondisi seperti rencana di periode kedua ini.
Lima Menteri dan Sekretaris Kabinet
Pertama, 12 Agustus 2015. Saat itu, Presiden Jokowi yang belum genap setahun menjabat sebagai Presiden mengganti lima menteri dan sekretaris kabinet. Tidak banyak wacana, tidak ada prakondisi atau "petir sebelum hujan turun". Publik memberi apresiasi.
Karena tidak adanya "petir sebelum hujan turun", sejumlah pihak terkejut dan protes. Kenapa dilakukan mendadak, tanpa konsultasi atau komunikasi sebelumnya?
Pihak Istana Kepresidenan tampil ke publik mewakili Presiden Jokowi mengatakan, keputusan diambil tidak mendadak. Evaluasi kinerja para menteri dilakukan dengan cukup waktu dan bukti. Pelacakan terhadap menteri pengganti juga dilakukan sangat lama.
Bahwa untuk evaluasi dan pelacakan itu publik tidak tahu, itu urusan lain. Yang jelas, Istana memastikan, pergantian menteri bukan keputusan "bangun tidur", tetapi keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang.
Lalu, kenapa Presiden Jokowi waktu itu merombak kabinet dan mengganti lima menteri dan sekretaris kabinet saat pemerintahan belum genap satu tahun pada 2015?
Alasannya pertama-tama untuk percepatan akselerasi program kerja yang dijanjikan dalam kampanye kepada rakyat. Alasan kedua untuk konsolidasi pelaksanaan program kerja dan alasan kondisi ekonomi yang saat itu tidak ramah dan butuh tangan-tangan yang lebih cakap.
Jika masih belum ingat juga peristiwanya, saya coba sebut nama-nama menteri yang dilantik Presiden Jokowi, Rabu 12 Agustus 2015 setelah merombak susunan kabinet.
Mereka adalah Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Luhut merangkap jabatan sebagai Kepala Staf Kepresidenan, yang ia jabat sebelumnya.