KOMPAS.com - Status Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang masih tercatat sebagai anggota aktif kepolisian menuai kontroversi.
Firli menyatakan, ia tak punya jabatan di Polri saat dilantik sebagai Ketua KPK. Menurut Firli, sejka 19 Desember 2019 atau sehari jelang pelantikan sebagai Ketua KPK, ia sudah tak menduduki sebagai Kepala Baharkam Polri.
Posisi terakhirnya sebagai analis kebijakan Baharkam Polri, kata Firli, bukan sebuah jabatan.
Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madri lmengatakan, larangan rangkap jabatan pimpinan KPK itu sudah jelas dinyatakan dalam Pasal 29 Undang-Undang KPK poin (i).
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Pimpinan KPK harus melepaskan semua jabatan struktural atau jabatan lainnya selama menjadi Pimpinan KPK.
Baca juga: Mahfud: Hak Firli untuk Tetap Jadi Anggota Polri
"Misalnya, sebagai seorang dosen ia tidak boleh jadi dosen aktif ketika menjabat sebagai pimpinan. Itu makna Pasal 29 poin (i), dari dulu enggak pernah berubah," lanjut dia.
Selain melanggar UU KPK, Oce khawatir akan terjadi konflik kepentingan di tubuh KPK jika Firli masih memiliki posisi di Polri.
Menurut Oce, konflik kepentingan ini berpotensi menjadi salah satu hulu korupsi.
"Ada kesan juga nantinya jabatan pimpinan KPK dianggap main-main, bahkan dianggap sampingan," kata Oce.
"Diminta mundur juga karena tugas KPK itu sangat berat, sehingga harus fokus dan full time, tidak bisa berbagi," ujar dia.
Ia juga mengingatkan risiko hukum yang mempertanyakan legalitas status Firli sebagai Pimpinan KPK.
Sebab, Pasal 29 tersebut mengatur mengenai syarat untuk diangkat menjadi Pimpinan KPK.