Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pabrik Tahu Berbahan Bakar Plastik Impor Jadi Sorotan, Ini Kata KLHK

Kompas.com - 20/11/2019, 15:00 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

Seorang pekerja sedang memproses kedelai untuk dijadikan tahu. Sejumlah pabrik tahu di Tropodo, Indonesia, menggunakan plastik sebagai bahan bakar.Ulet Hansasti for The New York Times Seorang pekerja sedang memproses kedelai untuk dijadikan tahu. Sejumlah pabrik tahu di Tropodo, Indonesia, menggunakan plastik sebagai bahan bakar.

KOMPAS.com -  Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan pernyataan tanggapan atas keberadaan pabrik tahu di wilayah Jawa Timur yang menggunakan limbah plastik impor sebagai bahan bakarnya.

KLHK menyebut pembakaran sampah plastik secara terbuka tidak dibenarkan oleh undang-undang.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (20/11/2019) malam.

“UU No 18 tahun 2018 sudah jelas melarang pembakaran sampah plastik secara terbuka. Jadi, itu tidak dibenarkan," kata Vivien saat menjawab pertanyaan media, Senin (18/11/2019).

Pemerintah pun menurut Vivien telah melakukan kunjungan lapangan dan koordinasi dengan pemerintah daerah secara intens untuk mengedukasi masyarakat di lokasi terjadinya pencemaran udara ini.

Selain tinjauan langsung, Pemerintah juga sudah membawa permasalahan ini pada rapat terbatas kabinet di akhir Agustus lalu dengan menghasilkan sejumlah pengetatan regulasi.

Baca juga: Selain Jadi Bahan Bakar Pabrik Tahu, 4 Cara Lain Kelola Sampah Plastik

“Pada saat ini sebenarnya, sudah tidak ada lagi pasokan timbulan sampah plastik baru yang merupakan ikutan dari impor scrap kertas secara signifikan,” kata Vivien.

Sebenarnya, Vivien menyebut pemanfaatan limbah sampah plastik untuk bahan pembakaran merupakan inisiatif yang perlu diapresiasi, karena menjadi solusi limbah plastik di dalam negeri.

Hanya saja semua itu harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga plastik yang digunakan tidak menimbulkan efek bahaya lain.

“Untuk itu diperlukan standar teknologi, tidak hanya sekedar teknologi yang tepat guna, karena berkaitan juga dengan emisi, safety, dan sebagainya,” jelas Vivien.

Reekspor

Selanjutnya, pemerintah juga bertekad mengembalikan atau reekspor limbah plastik impor itu ke negara asalnya.

Sikap ini sebagaimana disampaikan Vivien dalam kesempatan sebelumnya saat jumpa pers bersama Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi.

"Kami melakukan reekspor berkoordinasi dengan Bea dan Cukai," ujar dia.

Indonesia telah mengekspor ulang 428 kontainer sampah bercampur limbah bahan beracun dan berbahaya ke negara asalnya. 

Ini menjadi sikap tegas pemerintah atas importir sampah skrap plastik yang tidak sesuai dengan aturan.

Meski begitu, proses yang harus dijalani tidaklah sebentar.

"Perlu penguatan pemahaman antarinstansi terkait penanganannya, termasuk dalam melakukan pengawasan di border dan postborder. Diperlukan data dan informasi yang akurat serta prosedur yang jelas jika dilakukan pengembalian limbah ilegal tersebut ke negara asal," jelasnya.

Sebelumnya, keberadaan pabrik-pabrik tahu tradisional ini sudah menjadi pembicaraan media nasional bahkan internasional. Pasalnya hasil pembakaran dari tungku-tungku pabrik tersebut menghasilkan sejumlah gas polutan yang berbahaya bagi kesehatan.

Baca juga: Pabrik Tahu Gunakan Sampah Plastik sebagai Bahan Bakar, Ini Rekomendasi IPEN

Salah satunya dioxin yang ditemukan terkandung dalam telur ayam yang diambil dari wilayah sekitar pabrik dan dijadikan sampel penelitian oleh International Pollutans Elimination Network (IPEN).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com