Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Otak Semakin Aktif Bikin Umur Lebih Pendek

Kompas.com - 07/11/2019, 06:09 WIB
Nur Rohmi Aida,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi panjang usia kehidupan seseorang. Di antaranya seperti gen, gaya hidup dan lingkungan tempat tinggalnya.

Namun, baru-baru ini penelitian yang diterbitkan oleh Nature seperti dilansir dari Time, menunjukkan bahwa aktifitas saraf otak juga dapat berpengaruh pada umur seseorang.

Dari penelitian tersebut diketahui bahwa aktifitas saraf otak yang berlebihan memiliki kemungkinan membuat umur lebih pendek dibandingkan aktifitas saraf yang cenderung lebih santai.

Meski demikian temuan tersebut merupakan temuan awal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun adanya penemuan ini aktivitas seperti meditasi yang membantu pikiran lebih rileks, mungkin bisa Anda coba.

Dr. Bruce Yanker, seorang profesor genetika dan neurologi di Harvard Medical School yang melakukan penelitian tersebut menjelaskan, kemungkinan mekanisme eksitasi otak berhubungan dengan mekanismenya mengontrol metabolisme.

Baca juga: Maruf Amin: Umur Boleh Tua, Semangat Tetap Muda

Selama ini, mekanisme kontrol metabolisme memang telah lama dikaitkan dengan panjangnya umur seseorang.

Penelitian tentang keterkaitan keaktifan otak dengan panjangnya umur, awalnya dianggap bertentangan dengan pandangan banyak orang, yang selama ini mengira  jika otak lebih aktif maka kesehatan dan vitalitasnya lebih baik.

Yanker bersama rekan-rekannya melakukan penelitian dengan memeriksa jaringan otak dari ratusan subjek manusia yang meninggal. Subjek tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan usia kematian mereka.

Hasilnya mereka yang meninggal pada usia 90 atau 100 tahun ditemukan memiliki aktivitas saraf yang lebih sedikit dibandingkan mereka yang meninggal di usia 70 atau 80 an.

Namun, temuan tersebut menurut Yanker bisa saja disebabkan karena seseorang ketika bertambah usia otak mereka menjadi lebih lambat. Sedangkan mereka yang meninggal lebih muda belum tentu pula meninggal terkait aktivitas sarafnya.

Untuk menguji lebih lanjut, mereka selanjutnya melakukan penelitian lanjutan menggunakan cacing. Cacing digunakan karena masa hidupnya lebih pendek dan mudah dipelajari.

Dengan menggunakan pencitraan otak, mereka melihat bahwa cacing yang diberi obat untuk menenangkan aktivitas sarafnya, menunjukkan memiliki usia hidup yang lebih lama.

Sementara ketika para peneliti menstimulasi neuron cacing, mereka mati lebih cepat.

“Itu bukan karena faktor pembaur, tampaknya itu efek utama,” kata Yanker.

Penelitian yang mereka lakukan pada tikus juga menunjukkan hal yang sama.

Terhadap cacing-cacingnya Yanker selanjutnya mencari “protein CEO” yang disebutnya sebagai zat yang berperan mengendalikan aktifitas saraf.

Yanker kemudian juga mempersempit pencarian menjadi protein REST yang dari penelitiannya sebelumnya, merupakan pelidung otak dari demensia.

Hasilnya ketika cacing diberi penenang, protein tersebut tidak banyak ditemukan dan kehidupan cacing lebih panjang.

Sementara pada cacing yang aktif protein tersebut cenderung banyak ditemukan dan hidup cacing menjadi lebih pendek.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com