Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Tindak Lanjuti Tewasnya Dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari

Kompas.com - 27/09/2019, 16:01 WIB
Nur Rohmi Aida,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menindaklanjuti kasus tewasnya dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Dua mahasiswa ini tewas akibat luka tembak di dada dalam aksi yang berlangsung di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019).

Mereka adalah dua mahasiswa adalah Randy (21) dari Fakultas Perikanan dan Kelautan dan Yusuf Kardawi dari jurusan Teknik Sipil.

Randy tewas dengan luka dada sebelah kanan selebar 5 cm dengan kedalaman 10 cm akibat senjata tajam.

Sementara, Yusuf meninggal setelah sebelumnya sempat dirawat di RSU Bahteramas.

Ia mengalami benturan di kepala. Selain itu, ada lima luka dengan panjang sekitar empat sampai lima sentimeter.

Baca juga: Investigasi Kematian Mahasiswa UHO, Kapolri Kirim 2 Tim ke Kendari

Hingga saat ini, belum diketahui pasti apakah keduanya tewas karena peluru karet atau peluru tajam.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, Komnas HAM sudah berkomunikasi dengan keluarga kedua mahasiswa itu dan beberapa pihak terkait.

"Kami sudah berkomunikasi dengan berbagai pihak termasuk keluarga. Mereka minta kasus ini dibuka secara terang benderang. Dan itu sesuai dengan pekerjaan Komnas HAM yang memastikan semua proses dilakukan transparan. Kami juga sudah komunikasikan dengan otoritas kepolisian agar dicarikan dokter yang netral, dan bisa terungkap secara jelas," ujar Choirul Anam, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/9/2019).

Kepada pihak kepolisian, Komnas HAM meminta untuk tidak melakukan tindakan yang represif agar tidak timbul korban yang lebih banyak lagi. 

Komnas HAM akan terus memantau pengusutan kasus ini dan akan terus melakukan pemantauan agar pengusutan dilakukan secara transparan.

Baca juga: Fakta di Balik 2 Mahasiswa Universitas Halu Oleo Tewas Saat Demo di Kendari

"Kami mengingatkan agar dalam penindakan, kepolisian mengutamakan langkah persuasif dan bukan represif. Karena kan di beberapa daerah seperti di Jawa atau Sulawesi terdapat tindakan penggunaan kewenangan secara berlebihan. Kalau ada dinamika lapangan supaya bisa menahan diri," kata dia.

Ia mengingatkan, kepolisian seharusnya belajar dari pengalaman penanganan aksi pada 21-24 Mei 2019.

"Di kerusuhan 21-24 Mei di beberapa titik polisi kan bisa menangani demonstrasi dengan baik, tapi di beberapa titik memang terjadi kekerasan. Nah harusnya kan bisa dipakai yang baik, mana yang tidak. Polisi bisa belajar pada proses penanganan yang baik dari kejadian saat itu," kata Anam.

Tantangan terbesar kepolisian saat ini, lanjut dia, untuk transparan menyampaikan penindakan yang dilakukan terhadap anggotanya yang menggunankan kewenangan secara berlebihan.

"Kalau polisi terus menerus melakukan kekerasan, ketegangan dan aksi unjuk rasa tak akan berhenti," ujar dia.

Dengan jatuhnya korban jiwa dari rangkaian aksi yang terjadi sejak awal pekan lalu, Anam mengatakan, Presiden harus mempertimbangkan untuk memenuhi tuntutan massa.

"Jangan sampai korban yang jatuh tak memberikan makna apa-apa. Perppu KPK segera diterbitkan Presiden. Tanpa itu protes akan berjalan, dan potensi timbul banyak korban dan Indonesia semakin berduka," papar Choirul Anam.

KOMPAS.com/Dhawam Pambudi Infografik: Kronologi Demo Mahasiswa di DPR hingga Data Korban

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com