KOMPAS.com - Devide et Impera adalah politik pecah belah atau adu domba yang diterapkan oleh penjajah Belanda di Indonesia.
Secara harfiah, devide et impera artinya adalah pecah dan berkuasa.
Cara penerapan strategi devide et impera adalah dengan menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga dapat lebih mudah dikuasai.
Di Nusantara, politik devide et impera pernah diterapkan pada Perang Makassar, konflik Kerajaan Mataram, dan Perang Aceh.
Berikut ini tokoh-tokoh yang menjalankan politik devide et impera.
Baca juga: Devide et Impera: Asal-usul dan Upaya-upayanya di Nusantara
Snouck Hurgronje adalah orientalis ternama kebangsaan Belanda yang paham tentang agama Islam.
Ketika Perang Aceh berlangsung (1873-1904), Belanda sangat sulit untuk menaklukkan kota tersebut.
Oleh sebab itu, Belanda menggunakan taktik devide et impera atau politik adu domba dengan mengirimkan Snouck Hurgronje.
Alasan Belanda mengirim Snouck Hurgronje ke Aceh karena ia dipandang sebagai orang yang tepat untuk terjun ke tengah masyarakat Aceh dan diberi tugas memecahkan berbagai kendala yang dihadapi Belanda dalam penaklukkan Aceh.
Terlebih, Snouck Hurgronje memiliki pengalaman bersosialisasi dengan orang Aceh selama berada di Mekkah.
Pada Juli 1891, Snouck Hurgronje pun berhasil masuk ke Aceh untuk mempelajari adat-istiadat, kebudayaan, dan ajaran Islam yang dianut masyarakat setempat.
Selama menjalankan tugasnya, Snouck Hurgronje menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar.
Snouck Hurgronje akhirnya mengetahui kelemahan Aceh, yaitu dengan mengadu domba golongan teungku dan teuku yang pada saat itu tengah bersaing satu sama lain.
Dengan demikian, penugasan Snouck Hurgronje terbukti mampu memberi keuntungan bagi Belanda.
Sebab, beberapa serangan gerilya berhasil dipatahkan dan Kesultanan Aceh takluk pada 1903.
Baca juga: Tujuan Penerapan Politik Devide et Impera