Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Fikih Kenegaraan Gus Dur

Kompas.com - 30/01/2023, 10:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu warisan berharga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah pemikirannya tentang kenegaraan di dalam Islam. Warisan ini mencerminkan corak utama politik Islam di Indonesia, yang membuat negara Indonesia sah, terutama di hadapan hukum Islam.

Meskipun Gus Dur merupakan sarjana Sastra Arab jebolan Universitas Baghdad, namun beliau juga seorang ahli filsafat hukum Islam (ushul fiqh). Di Pesantren Ciganjur asuhan beliau, Gus Dur dua kali mengampu kitab babon ushul fiqh, yakni al-Risalah karya Imam Syafi’i, dan al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali.

Ketika membahas al-Mustashfa, Gus Dur menyatakan, banyak sarjana Barat yang salah memahami Al-Ghazali dan rasionalitas dalam Islam. Sebab menurut beliau, Al-Ghazali bukanlah pemadam rasionalitas Islam melalui tasawufnya, akan tetapi justru penghidup rasionalitas Islam melalui ushul fiqh.

Baca juga: Belajar Kearifan Islam dari Gus Dur dan Cak Nur

Gus Dur sendiri menempatkan ushul fiqh sebagai mahkota rasionalitas dalam peradaban Islam.

Bagaimana peran ushul fiqh dalam pemikiran kenegaraan Gus Dur? Inilah yang menjadi titik fokus tulisan ini. Sebuah titik yang jarang terbaca oleh publik, karena pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur terbatas pada “ranting”, bukan “akar” dan metodologinya.

Perluasan Penerapan

Untuk menerapkan ushul fiqh dalam pemikiran kenegaraan, Gus Dur melakukan dua hal. Pertama, perluasan sumber bagi penerapan hukum Islam (istinbath tathbiqi). Artinya, sumber penerapan hukum yang secara konvensional mengacu pada Al Quran, hadis, ijma' dan qiyas, diperluas pada prinsip kemaslahatan (mashlahah), tradisi (‘urf), dan kebaikan (istihsan).

Melalui perluasan itu, maka pijakan bagi penerapan hukum Islam tidak hanya hal-hal yang bersifat keagamaan, tetapi juga hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Tentu, hal-hal manusiawi ini tidak bertentangan dengan teks suci (nash) meskipun secara tekstual tidak ditulis di Kitab Suci.

Penerapan Islam berdasarkan sumber yang diperluas inilah yang membuatnya mengagas pribumisasi Islam, yakni kontekstualisasi Islam melalui pengembangan aplikasi nash. Prinsipnya justru menggunakan pendekatan kebudayaan, ketika Islam bertemu (bersitegang) dengan budaya.

Bagaimana ini bisa terjadi? Karena dalam ushul fiqh, tradisi (‘urf) bisa menjadi pijakan bagi perumusan dan penerapan hukum Islam. Ini yang membuat Gus Dur sering mewacanakan kaidah fikih: al-‘adah al-muhakkamah (adat bisa menjadi landasan hukum Islam).

Seperti diketahui, gagasan pribumisasi Islam menjadi tandingan utama bagi wacana dan gerakan arabisasi Islam di Indonesia. Dalam kaitan ini, Gus Dur tidak hanya meramu hubungan yuridis antara syariah dan adat, tetapi juga menjalin hubungan filosofis antara agama dan budaya.

Dalam Pribumisasi Islam (1989) misalnya, ia menjalin hubungan agama dan budaya yang senapas dengan hubungan filsafat dan ilmu (sains). Menurutnya, filsafat bukanlah ilmu, tetapi filsafat membutuhkan ilmu. Demikian pula, agama bukanlah budaya, tetapi agama membutuhkan budaya.

Jalinan agama dan budaya ini terkait dengan pemikiran kebudayaannya. Gus Dur yang merupakan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985) itu memiliki dua gagasan kebudayaan. Pertama, budaya sebagai sistem nilai yang tercermin dalam karya seni dan terbentuk dalam kesejarahan masyarakat.

Baca juga: Sosok Gus Dur yang Tak Pernah Menyimpan Dendam terhadap Lawan Politiknya

Ini merupakan definisi antropologis atas budaya yang membuahkan corak budaya “Islam Indonesia” yang dibentuk melalui proses pribumisasi Islam. Sejak Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama tahun 2015, corak “Islam Indonesia” ini telah dialihbahasakan menjadi “Islam Nusantara”.

Kedua, kebudayaan sebagai kehidupan sosial manusiawi (human social life). Ini merupakan gagasan filsafat kebudayaan Gus Dur, di mana budaya merupakan kualitas hidup yang manusiawi. Kualitas itu menyatakan: jika makan adalah kebutuhan kodrati manusia, maka sistem ekonomi yang memenuhinya adalah kebudayaan, sehingga ketika sistem ekonomi tidak berkeadilan, krisis ekonomi secara sah menjadi krisis kebudayaan. Kualitas hidup manusiawi ini pula yang menjadi parameter kontekstualisasi Islam.

Melalui perluasan sumber kemaslahatan, tradisi, dan kebaikan inilah, Islam dikontekstualisasikan dalam kenegaraan modern. Cita keadilan sosial dan kemanusiaan merupakan substansi negara Indonesia yang dijaga oleh tradisi kenegaraan (‘urf) kita, yakni Pancasila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com