KOMPAS.com - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai transaksi perdagangan.
Di Indonesia, prostitusi dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau moral dan melawan hukum.
Kendati begitu, dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas, ditoleransi, dan diatur.
Salah satu praktik prostitusi yang paling tampak sering kali dilakukan di dalam kompleks pelacuran di Indonesia atau disebut lokalisasi.
Lokalisasi tertua di Indonesia ada di kawasan Pasar Kembang atau Sarkem di Yogyakarta.
UNICEF memperkirakan bahwa 30 persen pelacur perempuan di Indonesia adalah wanita yang berusia di bawah usia 18 tahun.
Lalu, sejak kapan prostitusi ada di Indonesia?
Baca juga: Jugun Ianfu, Wanita Penghibur atau Korban Kekerasan Tentara Jepang?
Salah satu laporan paling awal mengenai adanya prostitusi di Indonesia berasal dari sumber Tiongkok.
Berdasarkan catatan sejarah Dinasti Tang Ch'iu-T'ang Shu dan Hsin T'ang Shu, yang berasal dari sekitar tahun 640 M, melaporkan bahwa di negara Ho-ling di Jawa, ada sejumlah "wanita beracun."
Konon, siapa pun yang melakukan hubungan seksual dengan wanita beracun ini akan menderita luka nanah dan meninggal sesudahnya.
Lebih lanjut, pada masa sebelum penjajahan bangsa Eropa, diperkirakan sudah berlangsung pembelian budak seks dan hubungan seksual yang berlandaskan hubungan tidak lazim.
Dalam sejarahnya, para raja di Jawa yang memiliki tempat kosong di istananya dominan menggunakannya sebagai tempat para selir.
Kemudian, para raja di Bali juga dapat menjual para janda yang sudah tidak diterima lagi oleh keluarganya.
Serat Centhini, sebuah manuskrip Jawa dari awal abad ke-19, berisi mengenai bisnis prostitusi yang berlangsung di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Di dalam manuskrip itu dijelaskan berbagai posisi dan teknik seksual yang dikuasai oleh para pelacur di Jawa.