KOMPAS.com - Dalam mempelajari ilmu sejarah, kita tidak hanya menggali informasi persitiwa masa lalu.
Lebih dari itu, proses peristiwa sejarah harus direkonstruksi secara obyektif.
Oleh karena itu, dalam mengungkapkan peristiwa sejarah dibutuhkan kemampuan berpikir secara diakronik dan sinkronik.
Dengan konsep itu kita akan mampu mempelajari suatu peristiwa sejarah dari segala aspek serta mengetahui bagaimana kronologisnya.
Baca juga: Memikat Generasi Muda Belajar Sejarah untuk Mencintai Indonesia
Secara bahasa, diakronik berasal dari bahasa latin, dia yang memiliki arti melalui atau melampaui. Sedangkan chronicus berarti waktu.
Diakronik maksudnya adalah memanjang dalam waktu dan menyempit dalam ruang. Berpikir secara diakronik juga disebut dengan berpikir secara kronologis atau berurutan.
Kronologis adalah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu atau urutan kejadiannya.
Untuk menganalisa suatu peristiwa, banyak sejarawan yang menggunakan pendekatan diakronik.
Contohnya adalah peristiwa perang Diponegoro pada 1825-1830.
Dalam catatan sejarah, Perang Diponegoro disebabkan oleh beberapa faktor. Awalnya, Belanda mengintervensi urusan keraton Yogyakarta.
Kemudian Belanda juga membebani rakyat dengan pajak. Puncaknya, pembangunan jalan yang sengaja melewati tanah leluhur Diponegoro di Tegalrejo.
Hal itu membuat Diponegoro akhirnya menyatakan perang yang meletus pada 20 Juli 1825.
Perang berakhir pada 18 Maret 1830 dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock di Magelang.
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga meninggal pada awal tahun 1855.
Adapun ciri-ciri dari konsep diakronik adalah: