KOMPAS.com - Selain Kesultanan Ternate, Kerajaan Tidore menjadi salah satu kerajaan besar yang berada di Maluku karena posisinya yang sangat strategis dalam dunia perdagangan pada masanya.
Kesultanan Ternate juga memiliki ketahanan politik, ekonomi, dan militer.
Oleh karena itu, Tidore pernah menjadi saingan Kesultanan Ternate dalam bidang perdagangan rempah-rempah.
Terlebih lagi, kedua kerajaan Islam ini bersifat ekspansionis, di mana Ternate menguasai wilayah barat Maluku, sedangkan Tidore mengarah ke Timur.
Sejak didirikan pada 1081 M, letak Kerajaan Tidore tercatat beberapa kali mengalami pemindahan ibu kota.
Letak ibu kota yang terakhir adalah di Limau Timore, yang kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Pada masa kejayaannya, yaitu sekitar abad ke-18, Kerajaan Tidore berhasil menguasai sebagian besar Pulau Halmahera, Pulau Buru, Pulau Seram, dan pulau-pulau di pesisir Papua bagian barat.
Baca juga: Kerajaan Islam di Maluku
Menurut tradisi sejarah, empat kerajaan di Maluku Utara, termasuk Ternate dan Tidore memiliki akar yang sama.
Raja pertama Tidore, Syahjati atau Muhammad Naqil yang naik takhta pada 1081 M adalah saudara Mashur Malamo, raja pertama Kerajaan Ternate.
Sejak awal berdirinya hingga raja keempat, agama dan letak pusat Kerajaan Tidore belum bisa dipastikan.
Pada 1495, saat kerajaan dipimpin oleh Sultan Ciriliati, letak ibu kota diketahui berada di Gam Tina.
Pada masa pemerintahan Ciriliati pula, agama Islam masuk ke Kerajaan Tidore.
Ciriliati atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.
Hal ini kemudian memengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Baca juga: Kerajaan Ternate dan Tidore, Pusat Penghasil Rempah-Rempah
Sepeninggal Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al Mansur (1512-1526 M), di mana pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara.