KOMPAS.com - Di balik sinar terang bersama Leeds United di panggung Liga Inggris, Raphinha menyimpan cerita masa lalu yang begitu kelam.
Leeds United memboyong Raphinha dari klub Perancis, Rennes, pada bursa transfer musim panas 2020.
Kala itu, Leeds harus mengeluarkan dana sebesar 18,6 juta euro atau sekitar Rp 292,5 miliar untuk mendapatkan Raphinha.
Meski Leeds bukan klub top Premier League, Raphinha berhasil menjadi bintang di sana.
Dua musim berseragam Leeds United, pemain sayap asal Brasil itu mengemas total 64 penampilan di semua kompetisi dengan catatan 17 gol dan 11 assists.
Baca juga: Transfer Gabriel Jesus Hampir Tuntas, Arsenal Lirik Raphinha dan Bek Ajax
Penampilan apik Raphinha bersama Leeds membuat winger 25 tahun itu dilirik sejumlah klub besar Eropa.
Pada Maret lalu, FC Barcelona dikabarkan memiliki minat kepada Raphinha. Kini, duo London yakni Chelsea dan Arsenal disebut sedang bersaing untuk mendapatkan pemain kelahiran Porto Alegre tersebut.
Dalam dua musim terakhir, Raphinha menjadi bagian dari gemerlap panggung kompetisi divisi teratas Liga Inggris, Premier League.
Raphinha sendiri terbilang sudah cukup lama berkarier di Benua Biru. Pemilik nama lengkap Raphael Dias Belloli itu pindah ke Eropa ketika direkrut oleh klub Portugal, Vitoria Guimaraes, pada 2015.
Pindah ke Eropa menjadi kesempatan bagi Raphinha untuk mengembangkan karier sepak bola sekaligus mencari kehidupan yang lebih baik dan melupakan trauma masa lalu.
Baca juga: Chelsea dan Arsenal Berlomba untuk Boyong Raphinha, Siapa Unggul?
Lahir di Porto Alegre, Brasil, pada 14 Desember 1996, masa kecil Raphinha dipenuhi dengan kisah pilu.
Ia berasal dari kawasan kumuh dan berbahaya di Porto Alegre. Ketika masih anak-anak, ia sudah disuguhi pemandangan orang meninggal karena terjebak dalam perdagangan narkoba.
Bahkan, beberapa teman masa kecil Raphinha ada yang meninggal, sedangkan yang lain ikut menjual narkoba.
"Seringkali dalam hidup, cara termudah untuk menghasilkan uang adalah dengan cara yang salah," ungkap Raphinha dalam sebuah wawancara dengan Sky Sports.
"Itu hanya bagian dari kehidupan di sana (Porto Alegre). Ada ketidakmampuan untuk menghindarinya, ketidakmampuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik," imbuhnya.