Oleh: Rina Kastori, Guru SMP Negeri 7 Muaro Jambi, Provinsi Jambi
KOMPAS.com - Selama menduduki Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi baik militer maupun semimiliter untuk mempersiapkan kaum muda menjaga pertahanan Jepang.
Beberapa organisasi bentukan Jepang di Indonesai, yaitu:
Baca juga: Sistem Pendidikan di Era Pendudukan Jepang
Berikut penjelasannya:
Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang terbentuk pada September 1937 pada masa penjajahan Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, organisasi ini tidak dibubarkan karena kegiatannya bersifat keagamaan.
Kolonel Horie, pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama yang dibentuk Jepang mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam di seluruh Jawa Timur termasuk MIAI.
Horie meminta umat Islam tidak melakukan kegiatan politik pada saat itu dan sebagai gantinya ulama dan umat Islam dapat mencurahkan kegiatan keagamaan melalui organisasi.
Beberapa tugas MIAI yaitu:
Dengan tugas-tugas tersebut, MIAI membuat program di antaranya membangu Masjid Agung di Jakarta dan mendirikan universitas. Namun Jepang hanya menyetujui pembentukan baitulmal atau lembaga pengelola amal.
Karena bersifat kooperatif, Jepang juga memperbolehkan MIAI menerbitkan majalan yaitu Soera MIAI.
Karena simpati umat Islam yang sangat besar terhadap MIAI, Jepang justru merasa waspada terhadap perkembangan MIAI. Terlebih dana yang terkumpul di Baitulmal disalurkan ke umat bukan ke Jepang.
Melihat hal tersebut Jepang membubarkan MIAI pada November 1943 dan diganti dengan membentu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Baca juga: Mengenal Kabuki, Seni Teater Klasik Asal Jepang
Majelis Syuro Muslimin Indonesia berdiri pada 1943 sebagai pengganti MIAI. Masyumi diketuai oleh KH Mas Mansur dan didampingi KH Hasyim Asyari.
Masyumi berkembang cukup pesat karena memiliki cabang di setiap karesidenan. Tugas utama Masyumi adalah meningkatkan hasil bumi dan mengumpulkan dana.
Organisasi ini segera dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh dari pergerakan nasional Indonesia untuk mengonsolidasikan organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan Islam, dan Sarekat Islam.
Seiring berjalannya organisasi, Masyumi berani menolak budaya Jepang yang tidak sesuai ajaran Islam, seperti seikerei atau posisi membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo.
Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamnka menolak hal tersebut karena umat Islam hanya melakukan posisi tersebut ketika ruku saat shalat dan menghadap kiblat.
Baca juga: Kedatangan Jepang ke Indonesia
Untuk mengikat hati rakyat, pada 16 April 1943 didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur.