Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Mengapa Gambut Direstorasi dan untuk Apa?

Kompas.com - 10/02/2023, 13:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EKOSISTEM gambut Indonesia, yang luasnya 13,34 juta hektare, menjadi contoh sempurna hutan tropika yang lengkap dalam kondisi klimaks. Dengan vegetasi yang heterogen, tanah gambut berlapis-lapis dan air rawa yang menyatu dengan ekosistem hutan hingga menjadi ekosistem hutan rawa gambut.

Dengan ekosistem seperti itu, gambut menjadi penyerap dan penyimpan emisi karbon sangat besar. Secara alami, hidrologi gambut memiliki mekanisme perlindungan diri untuk mencegah kebakaran besar.

Kebakaran masif dan meluas lahan gambut baru terjadi tahun 1980-an. Dalam kebakaran gambut di Indonesia tahun 1997-1998, setelah dikeringkannya lahan gambut untuk Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah, jumlah karbon yang dilepas sebanyak 2,5 miliar ton karbon setara CO2.

Baca juga: BRIN dan RMU Jalani Kolaborasi Riset Restorasi Hutan Gambut Indonesia

Pada kebakaran tahun 2002-2003, ekosistem gambut melepaskan 200 juta hingga 1 miliar ton karbon ke atmosfer. Sejak itu, kebakaran hebat berulang terjadi di Kalimantan.

Menurut laporan Palangkaraya Ecological & Human Right Studies (Progress), terdapat 17.676 titik api di areal konsesi perusahaan di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada puncak kebakaran lahan September 2015. Adapun indeks standar polusi udara pada 19-22 September 2015 di Kalteng mencapai 3.169mg/m2, jauh di atas ambang batas normal aman.

Menurut data Badan Restorasi Gambut (BRG), - sekarang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) - tahun 2020, total luas gambut di Indonesia 13,34 juta hektare, dengan lahan gambut rusak 2,67 juta hektare. Alih fungsi hutan gambut untuk membangun Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, merupakan contoh nyata kerusakan ekosistem hutan gambut seluas satu juta hektare. Pembukaan hutan gambut untuk PLG dengan sistem tebang habis membuat lingkungan rusak parah.

Ekosistem hutan gambut memiliki fungsi "spon" yang mampu menyimpan air pada musim hujan, sehingga gambut tetap basah di musim kemarau. Pemulihan gambut dilakukan dengan empat cara, yaitu rehabilitasi, suksesi alami, restorasi, dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rehabilitasi yang diartikan sebagai revegetasi adalah cara yang paling sulit untuk memulihkan gambut. Rekomendasi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1999 adalah menanam gelam (Melaleuca leucadendron). Gagal. Pembibitan anakan maupun biji ternyata sulit.

Faktor hidrologi yang ekstrim membuat air melimpah dan menggenang pada musim hujan, sehingga vegetasi terendam dan mati. Pada musim kemarau praktis tidak ada air. Semak belukar yang tersisa menjadi mudah terbakar.

Cara yang paling mudah dalam pemulihan gambut adalah dengan suksesi alami karena proses pemulihannya diserahkan kepada alam. Suksesi alami dilakukan terhadap ekosistem gambut berkanal yang telah bersekat dan tidak terdapat gangguan manusia. Namun cara ini membutuhkan waktu cukup lama.

Untuk membantu mempercepat proses pemulihan gambut, restorasi adalah cara yang paling logis dan masuk akal. Kegiatan restorasi dilakukan untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian-bagiannya berfungsi kembali, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air.

Baca juga: Ini Penyebab Kebakaran Lahan Gambut

Bangunan air itu adalah sekat kanal, embung, dan bangunan air lainnya. Salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut adalah apabila jumlah titik api (hot spot) berkurang dibanding dengan sebelum kegiatan restorasi. Itulah, alasan-alasan kenapa gambut perlu direstorasi.

Restorasi Lahan Gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Lahan gambut di Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Jumat (12/2/2021). Tahun 2014, selama 3 bulan lahan gambut di sini terbakar. Warga merestorasi lahan gambut dengan menanam tanaman lokal seperti sagu sebagai salah satu upaya ketahanan pangan dan mempertahankan ekosistem lahan gambut. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMOKRISTIANTO PURNOMO Restorasi Lahan Gambut di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Lahan gambut di Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Jumat (12/2/2021). Tahun 2014, selama 3 bulan lahan gambut di sini terbakar. Warga merestorasi lahan gambut dengan menanam tanaman lokal seperti sagu sebagai salah satu upaya ketahanan pangan dan mempertahankan ekosistem lahan gambut. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Kegiatan Restorasi Gambut

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) - sebelumnya bernama Badan Restorasi Gambut (BRG) - tahun 2016-2020, sasaran strategis adalah terpulihkannya kawasan ekosistem gambut yang telah rusak dan terdegradasi yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan seluas 2 juta hektare. Dari sasaran tersebut, obyek yang menjadi fokus sasaran restorasi oleh BRGM adalah KHG (kawasan hidrologis gambut).

KHG adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara dua sungai, di antara sungai dan laut dan/atau pada rawa.

Prioritas restorasi gambut meliputi kegiatan:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com