Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Situasi Pandemi di Indonesia dan Catatan-catatan Epidemiolog

Kompas.com - 15/03/2022, 18:00 WIB
Mela Arnani,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Dunia masih berperang terhadap virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19. Status pandemi belum dicabut, bahkan terus terdeteksi adanya varian baru dari virus SARS-CoV-2.

Epidemiolog dari Griffith University Australia dr Dicky Budiman menegaskan, pandemi masih terjadi secara global. Saat ini, beberapa kawasan di dunia seperti Eropa dan China situasinya memburuk disebabkan adanya subvarian BA.2, mutasi dari varian Omicron.

“Beberapa kawasan seperti Eropa dan China (situasinya) memburuk dengan kehadiran subvarian BA.2 yang lebih cepat menular dari BA.1 maupun lebih menyebabkan keparahan,” ujar Dicky kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2022).

Menurut dia, subvarian BA.2 mempunyai viral load 10 kali lebih banyak dibandingkan BA.1.

Baca juga: Varian Covid-19 Deltacron Terdeteksi di Eropa, Apa Saja Gejala Deltacron?

Dicky menegaskan, Indonesia juga belum terlepas dari pandemi, bahkan sejumlah provinsi masih mempunyai positivity rate di atas 5 persen.

“Tren kematian maupun hunian ICU masih tinggi. Ini menunjukkan situasi kritis, eskalasi pandemi masih serius dan ini ditengah keterbatasan testing tracing kita, yang artinya jumlah kasus baik infeksi maupun kematian tentu jauh lebih banyak di masyarakat,” tutur dia.

Imunitas

Dicky menambahkan, modal imunitas masyarakat juga semakin membaik, meskipun pemberian dosis kedua belum merata dan vaksinasi booster belum mencapai target.

Ia mengimbau, vaksinasi booster diberikan kepada setidaknya 25 persen dari target sebelum Lebaran 2022.

“Ini belum tercapai sehingga menempatkan kita dalam posisi yang rawan, orang banyak masuk rumah sakit maupun meninggal,” jelas Dicky.

Baca juga: Varian Covid Deltacron Terdeteksi di Eropa, Apa yang Perlu Diwaspadai?

Dicky mengungkapkan, dari beragam situasi tersebut ditambah adanya pelonggaran-pelonggaran yang saat ini dilakukan, seharusnya diikuti dari penguatan aspek lain.

Sebagai contoh KRL yang tidak menerapkan jaga jarak, seharusnya menambah jumlah gerbong, waktu operasi, dikarenakan saat ini situasi belum aman.

“Enggak harus 50 persen kapasitasnya, tapi 80-90 persen itu masih membutuhkan jaga jarak dan pembatasan kapasitas, karena itu padat, sirkulasi udara belum bagus,” jelas Dicky.

Hal ini harus dikoreksi dan tetap harus dijaga demi keamanan dan kesehatan masyarakat.

Sementara terkait dengan shaf shalat yang juga ditiadakan jaga jarak, menurut Dicky, hal ini bisa dilakukan dengan syarat masjid atau tempat ibadah melancarkan sirkulasi udara  seperti ventilasi yang ditambah.

Selain itu, pelaksanaan ibadah tetap harus mengenakan masker, memastikan jemaahnya memenuhi syarat vaksinasi, serta skrining terhadap gejala dan kasus kontak erat.

Baca juga: Ahli Sebut Belum Ada Bukti Deltacron Dapat Mengurangi Efektvitas Vaksin Covid-19

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com