Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Kotoran Manusia Bisa Didaur Ulang, Saatnya Berhenti Merasa Jijik

Kompas.com - 25/02/2022, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Natalie Boyd Williams

SAAT bicara soal toilet, kebanyakan dari kita merasa sudah cukup hanya menyiram dan melupakan kotoran. Kita menganggap bahwa tinja manusia tidak lebih dari sekadar limbah. Namun, mengingat perubahan iklim yang sedang terjadi di bumi ini, pola pikir semacam itu justru mengabaikan fakta bahwa limbah organik bisa dan harus didaur ulang ke ekosistem.

Ya, penggunaan toilet memang sudah terbukti efisien, tapi masih sedikit toilet yang menerapkan sistem daur ulang kotoran manusia karena praktik ini dianggap menjijikkan.

Toilet masih menjadi topik yang tabu. Alih-alih memiliki toilet yang mampu menampung dan mengelola kotoran dengan baik, kebanyakan orang malah menggunakan air dalam jumlah besar untuk menyiram kotoran ke jaringan sistem pembuangan.

Praktik ini justru mengakibatkan beban berlebih bagi fasilitas pengelolaan limbah – yang juga menghabiskan banyak energi.

Kebanyakan solusi untuk menjawab masalah lingkungan hidup biasanya hanya berkutat seputar inovasi dan teknologi baru. Namun, bagaimana jika jawabannya lebih dari itu? Bagaimana jika yang lebih perlu disorot adalah aspek-aspek seperti budaya, perilaku serta tabu dan prasangka yang diinternalisasi di masyarakat kita?

Baca juga: Orang Romawi Kuno Gunakan Toilet Portable Ribuan Tahun Lalu, Ini Buktinya

Tabu terkait masalah pengelolaan kotoran menjadi pokok pembahasan dalam riset kami. Kami pun mencari tahu hal-hal apa saja yang bisa mengubah pikiran masyarakat dalam hal teknologi daur ulang kotoran manusia. Karena semakin banyak orang-orang yang mengupayakan ‘gaya hidup hijau’, diperlukan perubahan cara berpikir dalam mengenali apa itu limbah maupun sesuatu yang berharga bagi kita.

Teknologi toilet ramah lingkungan

Pemerintah kerap berasumsi tentang apa yang akan atau tidak akan diterima oleh masyarakat. Mereka tak benar-benar mencari tahu apakah sebuah teknologi bisa diterima secara luas. Selalu saja ada kelompok masyarakat yang menentang keberadaan pembangkit listrik tenaga angin, misalnya.

Perbedaan pendapat ini kerap dihiraukan oleh para pengembang teknologi, karena kelompok yang berbeda tersebut sebenarnya bisa dirangkul sehingga sebuah teknologi akhirnya bisa diterima seiring berjalannya waktu.

Suatu teknologi yang ramah lingkungan juga bisa lebih diterima apabila penduduk setempat lebih terlibat dan menuai keuntungan ekonomi – yang kemudian merangsang rasa kepemilikan bersama.

Toilet yang mendaur ulang kotoran manusia juga dapat mengurangi beban di sistem pembuangan kotoran secara signifikan, yang saat ini terus membebani upaya pengelolaan limbah.

Metode ini juga bisa mengubah kotoran manusia menjadi pupuk organik sekaligus biogas yang dapat menggantikan atau mengurangi pemakaian bahan bakar kayu tradisional sebagai penyebab utama polusi udara dalam ruangan dan penyakit-penyakit terkait.

Teknologi biogas domestik juga memungkinkan terhubungnya toilet ke biodigester, atau unit kedap udara di mana bakteri memecah limbah organik menjadi biogas bersih terbarukan. Teknologi ini umum ditemui di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah namun berpotensi diimplementasikan lebih luas di seluruh dunia.

Menanggulangi resistensi

Pemasangan toilet yang terhubung ke biodigester atau toilet-linked anaerobic digesters (TLAD) masih kontroversial. Namun, menariknya, masih sedikit informasi yang tersedia tentang cara-cara menghilangkan ketakutan, keraguan atau kejijikan masyarakat umum terhadap teknologi ini.

Di Nepal, misalnya, di tengah tabu yang menentang penggunaan kotoran manusia sebagai produk sehari-hari, ternyata ada cukup banyak TLAD di negara itu.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com