Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Bunuh Diri Mahasiswi NWR, Ahli Tegaskan Pemaksaan Aborsi Termasuk Kekerasan Seksual

Kompas.com - 06/12/2021, 20:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Mahasiswi berinisial NWR (23) ditemukan meninggal dunia, yang diduga bunuh diri akibat stres dan depresi setelah dua kali dipaksa aborsi oleh kekasihnya, seorang anggota Polres Pasuruan, Bripda RB.

NWR meninggal bunuh diri dengan meminum racun. Jasadnya ditemukan meninggal tepat di pusara ayahnya di pemakaman umum Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar pukul 15.30 WIB.

Diberitakan, Polda Jawa Timur telah menahan dan memproses Bipda RB yang diduga sengaja menyuruh NWR untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali.

Baca juga: Depresi Bisa Memicu Bunuh Diri, Waspadai Gejalanya

Dari penyelidikan polisi, penyebab NWR mengakhiri hidupnya karena mengalami tekanan mental atau depresi.

Bripda RB terbukti memiliki hubungan asmara sebagai pacar dari NWR, sejak 2019.

Dari hasi pemeriksaan tersebut, Bripda RB ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana aborsi atau pasal dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin. Bripda RB dijerat pasal 348 KUHP juncto pasal 55 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.

"RB kini ditahan di Mapolres Mojokerto. Kami tidak pandang bulu dalam penegakan hukum termasuk kepada anggota Polri," kata Wakapolda Jatim Brigjen Slamet Hadi Supraptoyo melalui keterangan resminya Sabtu (4/12/2021) malam.

Lalu, apakah pemaksaan aborsi termasuk dalam tindakan kekerasan seksual?

Guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan kepakaran di bidang kajian gender, Melani Budianta menegaskan bahwa pemaksaan aborsi adalah kekerasan seksual.

"Memaksa aborsi adalah kekerasan seksual. Perempuan punya hak penuh atas tubuhnya. Saya tidak mengikuti kasus NWR, tapi itu prinsip umumnya," kata Melani kepada Kompas.com Kompas.com, Senin (6/12/2021).

Saat dihubungi terpisah, Aktivis Perempuan sekaligus Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri mengatakan, dalam 15 bentuk kekerasan seksual yang dibentuk oleh Komnas Perempuan, pemaksaan aborsi adalah salah satu bentuk kekerasan seksual.

Komnas Perempuan menyebutkan, bahwa pemaksaan aborsi atau tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain jelas termasuk dalam kekerasan seksual.

Namun, kata Pawestri, hak aborsi bagi korban perkosaan pun diatur dan dijamin dalam UU Kesehatan.

Pasat 75 ayat (1) UU Kesehatan mengatur larangan bagi setiap orang melakukan aborsi.

Pengecualian larangan ini diatur dalam Pasal 75 ayat (2) yaitu berdasarkan: (a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau (b) kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikis bagi korban pemerkosa.

Tindakan aborsi ini hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling pascatindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan).

Aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan merupakan jenis aborsi provocatus therapeuticus, yaitu pengakhiran kehamilan dengan sengaja dari luar, biasanya dilakukan untuk menolong nyawa ibu oleh dokter, karena kehamilan membahayakan nyawa si ibu.

Sedangkan aborsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana merupakan abortus provocatus criminalis, yaitu tindakan pengguguran janin yang disengaja dan melawan hukum. 

Melawan hukum dalam arti tidak termasuk unsur pengecualian dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, sehingga merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana yang diatur ancaman hukumannya dalam undang-undang. 

Ancaman pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam UU Kesehatan dan KUHP.

Baca juga: [POPULER SAINS] Apa akan Ada Erupsi Susulan di Semeru? | Obat yang Digunakan NWR

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com