Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Bagaimana Mikroba Membuat Bangunan Bisa Memperbaiki Kerusakannya Sendiri?

Kompas.com - 10/11/2021, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Idris, M. Si., dan Erwin Fajar Hasrianda M.Sc.,

TINGGINYA intensistas gempa di bumi pertiwi ini berdampak terhadap sejumlah besar kerusakan serta robohnya bangunan-bangunan, terutama bangunan beton. Ini merupakan konsekuensi logis dari posisi geografis Indonesia yang berada di zona ring of fire – cincin api pasifik.

Di Indonesia, terdapat sejumlah besar gunung api aktif di dalamnya. Dampak dari keberadaan gunung-gunung api ini adalah seringnya gempa di bumi Indonesia akibat aktivitas vulkanik dari kumpulan gunung api tersebut.

Indonesia juga berada di antara 3 lempeng bumi yang terus aktif bergerak. Ketika terjadi gesekan antar lempeng atau patahan, maka akan menyebabkan gempa tektonik. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan frekuensi gempa yang tertinggi di dunia.

Merujuk kepada informasi yang disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Prof. Dwikorita Karnawati, disebutkan bahwa frekuensi kejadian gempa bumi di Indonesia setiap tahun semenjak 2018 hingga sekarang terus menunjukkan terjadinya peningkatan.

Baca juga: Berita Baik, Peneliti Temukan Mikroba Pendaur Ulang Plastik

BNPB menyampaikan bahwa setidaknya dalam bencana gempa di Palu, Sulawesi Tenggara pada 2018 saja, kerugian fisik akibat kerusakan infrastrutur ditaksir mencapai Rp 15,58 triliun.

Selain itu, sekalipun tidak sampai merobohkan suatu bangunan, gempa juga dapat menyebabkan retakan. Keretakan yang ditimbulkan ini merupakan bahaya senyap. Bangunan yang retak sejatinya telah berkurang secara signifikan daya tahan dan daya pakainya.

Retakan yang dihasilkan akan membuat udara dan air mudah masuk ke dalam struktur beton. Ini akan menyebabkan baja penyangganya akan mudah berkarat serta beton menjadi rapuh. Jika sudah demikian bangunan dapat roboh sewaktu-waktu dan membahayakan jiwa siapapun yang tengah berada di dalamnya. Padahal beton merupakan jenis material konstruksi yang paling banyak digunakan di berbagai jenis bangunan baik di Indonesia maupun di dunia.

Lebih jauh, umumnya beton memiliki masa pakai selama 20-30 tahun. Setelah masa tersebut volume beton cenderung menciut karena proses alamiah dari material ini. Penyusutan volume ini tentunya akan dapat menyebabkan sejumlah keretakan di beton. Mulai dari keretakan halus yang lebih kecil dari rambut manusia, hingga keretakan besar hingga beberapa sentimeter.

Fenomena ini bisa terjadi karena efek pemanasan-pendinginan lingkungan sekitar, penyusutan dini beton, dampak dari beban mekanis dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang diterima beton. Oleh karena itu, keretakan pada beton merupakan fenomena yang memang tak dapat dihindari (de Rooij et al., 2013; Isaacs et al., 2013).

Keretakan ini, jika tidak lekas ditangani, akan banyak mengurangi kekuatan bangunan dan berbahaya bagi keselamatan. Akumulasi keretakan akan menjadikan bangunan beton menjadi rapuh dan runtuh seluruhnya. Di sisi lain, upaya untuk memperbaiki keretakan membutuhkan biaya yang terbilang tidak sedikit.

Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi serta material konstruksi khusus yang mampu mengurangi dampak kerusakan dari gempa bumi pada bangunan, khususnya di bangunan beton.

Baca juga: Efektifkah Jamur Pelapuk dan Mikroba Jadi Penghilang Bau Kali Item?

Dalam mengatasi persoalan ini, belakangan ilmuwan mulai mengembangkan teknologi self healing concrete (SHC). Singkatnya teknologi yang dapat membuat beton mampu memperbaiki sendiri retakannya. Alhasil, bangunan menjadi lebih kokoh, aman dan memiliki masa pakai yang lebih lama.

Selain itu, teknologi ini secara tidak langsung juga dapat memberikan dampak positif ke lingkungan dan berperan dalam menekan perkembangan pemanasan global. Ini dapat terwujud dengan menurunkan konsumsi semen yang pada akhirnya dapat mengurangi dampak lingkungan akibat emisi polusi dari kegiatan produksi semen.

Salah satu teknologi teknologi SHC yang telah dikembangkan adalah dengan menambahkan campuran mikroba sebagai agen penguat beton.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com