Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Nuklir Akselerasi Pengembangan Obat Baru

Kompas.com - 17/10/2021, 20:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Hendris Wongso

Dari masa ke masa, tenaga nuklir semakin banyak dimanfaatkan dalam berbagai sendi kehidupan, mulai dari sektor energi, ketahanan pangan, perubahan iklim, lingkungan, hingga kesehatan.

Secara umum, pemanfaatan energi nuklir mendapat respon positif di tengah masyarakat.

Pada bidang kesehatan, energi nuklir digunakan untuk diagnosis dan terapi berbagai penyakit, serta merambah pada proses penemuan dan pengembangan obat baru.

Baca juga: Begini Sejarah Bom Nuklir Pertama di Bumi

Upaya mencari obat baru merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan dengan tingkat kegagalan yang tinggi.

Jadi, tidak mengejutkan jika keberhasilan suatu kandidat obat untuk disetujui penggunaanya hanya sekitar 1 berbanding 5000.

Angka keberhasilan yang rendah ini, tentunya berkorelasi linear dengan tingginya anggaran yang terbuang sia-sia.

Berdasarkan asalnya, kandidat obat dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kandidat yang berasal dari proses sintesis di laboratorium (man-made) dan bahan alam (natural products).

Karena dianggap memiliki profil keamanan yang baik, obat dari bahan alam seringkali “mudah” untuk sampai ke pasar.

Alhasil, di Indonesia cukup banyak ditemui obat-obatan tradisional atau yang dikenal juga dengan istilah “jamu.”

Sayangnya, beberapa jamu dan obat bahan alam yang tersedia di pasaran tidak didukung bukti ilmiah yang lengkap. Fakta ini menjadi indikasi lemahnya manajemen obat tradisional.

Berbeda halnya dengan obat dari bahan alam, kandidat obat hasil sintesis umumnya sulit untuk dapat disetujui pemakaiannya, dan memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk menembus pasar.

Kekayaan Senyawa Obat

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Tren kembali ke alam (back to nature) terus didengungkan.

Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, bumi pertiwi menyimpan kelimpahan molekul-molekul aktif yang potensinya sangat luas untuk bidang kesehatan.

Ketergantuangan masyarakat terhadap bahan alam untuk penyembuhan penyakit sudah terjadi turun-temurun, dan direkam dalam banyak studi. Tak terhitung jumlahnya, berbagai jenis bahan alam bak menjadi primadona untuk penyembuhan penyakit ringan hingga berat.

Tak pelak, bahan alam, khususnya jamu dan sediaan senyawa tunggal menjadi salah satu opsi untuk natural remedi.

Dari informasi etnofarmakologi, penggunaan senyawa-senyawa bahan alam mulai menerobos dunia medis modern.

Namun, tidak sedikit pula pihak yang meragukan khasiat dan manfaat bahan alam untuk pelayanan kesehatan formal. Dengan kata lain, pemanfaatan jamu atau sejenisnya masih memerlukan validasi ilmiah agar dapat digunakan secara klinis.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.03/MENKES/PER/2010 telah mengeluarkan pedoman tentang saintifikasi jamu.

Dokumen ini bertujuan untuk mendorong tersedianya bukti ilmiah terkait mutu, manfaat, dan keamanan jamu. Walaupun menjanjikan, proses saintifikasi jamu masih belum optimal.

Jumlah jamu dan sediaan ekstrak bahan alam yang dibuktikan secara ilmiah masih minim. Padahal, banyak sekali jenis-jenis sediaan tersebut yang berkeliaran di pasaran dan sehari-hari dikonsumsi oleh masyarakat.

Dengan bukti ilmiah yang masih setengah-setengah, wajar saja jika tenaga medis enggan untuk menggunakannya sebagai terapi utama maupun terapi komplementer.

Pada akhirnya, banyak senyawa-senyawa potensial yang tidak mampu menjadi produk komersil. Di lain pihak, industri farmasi tidak akan gegabah untuk memproduksi sediaan obat yang bukti-bukti ilmiahnya masih menjadi tanda tanya.

Hal ini membuat upaya saintifikasi senyawa aktif dari alam menemui jalan terjal dan berliku.

Baca juga: BPOM Temukan Kandungan Bahan Kimia Obat Berbahaya dalam Obat Tradisional, Ini Daftarnya

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com