KOMPAS.com - Sertifikat vaksin Covid-19 dijadikan salah satu syarat untuk melakukan perjalanan dan memasuki fasilitas publik.
Sejumlah daerah sudah menerapkan masyarakat untuk menunjukkan sertifikat vaksin di hotel, restoran, warteg, salon dan barbershop, destinasi wisata, hingga pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil, sepeda motor, bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat.
Dengan mewajibkan sertifikat vaksin Covid-19 untuk mengakses fasilitas publik, diharapkan herd immunity dapat segera tercapai.
"Jadi nanti kalian pergi ke restoran enggak pakai ini (sertifikat), tolak. Belanja enggak pakai ini, tolak. Karena ini demi keselamatan kita semua," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, usai memantau pelaksanaan vaksinasi di Gedung Setda Sleman, Jumat (6/8/2021).
Baca juga: Sertifikat Vaksin Covid-19 Syarat Masuk Mal, Ini Kata Pakar Kebijakan Kesehatan
Dalam ilmu penularan penyakit, penggunaan sertifikat vaksin atau paspor vaksin bukanlah hal baru dalam sejarah wabah di dunia.
Hal ini disampaikan oleh epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman kepada Kompas.com, Senin (9/8/2021).
1. Dimulai akhir abad ke-19, paspor vaksin pes
Mari kita kembali ke akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1897.
Dilansir NPR, 8 April 2021, seorang ilmuwan dari Odessa, Rusia bernama Waldemar Haffkine, mengembangkan vaksin untuk wabah plague atau pes.
Dia dijuluki sebagai "Jewish Jenner", merujuk pada Edward Jenner, penemu vaksin cacar pada tahun 1796).
Setelah vaksin ciptaan Haffkine mulai digunakan di British India, mulai ada kebijakan orang-orang dimintai bukti telah disuntik vaksin pes.
"Sertifikat vaksin itu (vaksin pes) untuk mencegah orang atau membatasi orang beraktivitas. Saat itu, (kebijakan) vaksin plague ini berlaku di Eropa," kata Dicky kepada Kompas.com.