Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mengapa Tak Boleh Sembarangan Memberi Makanan Pralaktasi pada Bayi?

Kompas.com - 08/08/2021, 18:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Lhuri D. Rahmartani

Walau air susu ibu (ASI) adalah nutrisi terbaik bagi bayi, nyatanya di Indonesia, sekitar 30-40 dari setiap 100 bayi baru lahir masih diberi susu formula atau berbagai makanan yang tidak selayaknya dikonsumsi bayi, seperti madu, bubur nasi, bahkan pisang.

Data tersebut berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) terbaru. Makanan atau minuman selain ASI yang diberikan pada bayi dalam beberapa hari setelah lahir atau sebelum ASI keluar seperti di atas disebut juga makanan pralaktasi.

Jika tidak ada indikasi medis, bayi tidak membutuhkan makanan pralaktasi. Memberikan makanan pralaktasi sembarangan justru berpotensi membawa risiko kesehatan, seperti infeksi saluran cerna dan berkurangnya produksi ASI.

Baca juga: 6 Daftar Gizi yang Wajib Dipenuhi Ibu Menyusui Pasca Melahirkan

Kondisi seperti apa yang memicu ibu atau keluarga untuk memberikan makanan pralaktasi pada bayi?

Di luar alasan medis yang terbilang sangat jarang, ada banyak faktor yang melatarbelakangi pemberian makanan pralaktasi. Riset saya menggunakan data SDKI menunjukkan bahwa praktik pemberian makanan pralaktasi lebih sering terjadi pada ibu-ibu yang tidak melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), melahirkan anak pertama, melahirkan secara sesar, dan tidak punya buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Pemberian ASI dalam satu jam setelah bayi lahir alias IMD termasuk kontak kulit ibu dan bayi sangat berperan dalam keberhasilan menyusui. Jika ASI keluar pada jam-jam pertama kelahiran, maka proses menyusui akan lebih mudah ke depannya.

Sebaliknya, jika tidak, ibu akan stres dan stresnya akan semakin mempersulit produksi ASI. Mengedukasi ibu tentang manfaat IMD dan mengupayakan rawat gabung –bayi dan ibu dalam satu ruangan rawat inap – niscaya dapat meminimalisasi pemberian makanan pralaktasi.

Persalinan sesar berisiko membuat IMD terhambat, karena ibu masih dalam masa pemulihan sesudah operasi, dan ASI keluar lebih lambat sehingga menyusui jadi lebih sulit. Hal ini berujung membuat ibu cemas dan terburu-buru memberikan makanan pralaktasi. Oleh karena itu persalinan spontan (atau yang dikenal awam sebagai ‘normal’) perlu diupayakan semaksimal mungkin.

Pemeriksaan kehamilan sangat penting untuk menghindari komplikasi yang berujung pada kelahiran sesar. Jika kelahiran sesar memang dibutuhkan karena alasan medis, maka ibu perlu mendapat informasi dan pendampingan pascasalin untuk mengurangi kecemasan.

Pemberian makanan pralaktasi kerap berhubungan dengan kurangnya pengetahuan. Ibu yang baru melahirkan pertama kali biasanya memiliki lebih sedikit pengalaman menyusui, sehingga lebih berpotensi memberikan makanan pralaktasi.

Demikian juga dengan orang tua yang tidak memiliki buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Kemungkinan besar mereka minim kontak dengan tenaga kesehatan selama kehamilan dan kurang informasi tentang menyusui yang termuat dalam buku tersebut.

Buku ini bisa didapatkan oleh ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di dokter kandungan atau bidan di klinik, pondok bersalin desa (polindes), puskesmas atau rumah sakit.

Baca juga: Riset: Suami, Mertua dan Ibu Kandung Hambat Keberhasilan Ibu Menyusui

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com