KOMPAS.com- Bappenas (2020) mencatat angka perkawinan anak di 18 provinsi di Indonesia meningkat dalam kurun waktu 2019. Tiga provinsi di antaranya mencatat kenaikan perkawinan anak tertinggi yakni Kalimantan Selatan (3,54 persen), Jambi (2,07 persen), dan Papua Barat (2,04 persen).
Meliat kondisi tersebut, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama Koalisi Perempuan Indonesia meluncurkan studi Perkawinan Bukan untuk Anak: Protret Perkawinan Anak di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan sebagai hasil observasi situasi dan kondisi di tujuh daerah paska amandemen Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Studi ini melibatkan tujuh daerah observasi, antara lain sebagai berikut.
Studi ini menemukan 9 faktor pemicu penyebab perkawinan anak termasuk kondisi pandemi Covid-19 yang turut memicu perkawinan anak, modus orang tua dalam perkawinan anak, pemetaan kebijakan daerah dan desa, serta berbagai dinamika terkait dispensasi kawin.
Baca juga: Peringkat ke-2 di ASEAN, Begini Situasi Perkawinan Anak di Indonesia
Hasil observasi menunjukkan setidaknya terdapat 9 faktor yang menurut para informan menjadi pendorong praktik perkawinan anak di daerah. Berikut sembilan faktor pemicu perkawinan anak di Indonesia.
1. Sosial
Faktor sosial (28,5 persen) menjadi yang paling menonjol sebagai pendorong kasus perkawinan anak, karena beberapa pengaruh berikut ini.
Lingkungan sosial dan kondisi geografis suatu wilayah seringkali berhubungan erat dengan perkawinan anak.
Di perdesaan, yang memiliki keterbatasan aksesibilitas informasi, pendidikan, dan transportasi, banyak ditemukan kasus perkawinan anak.
Baca juga: Apa Efek Terjadinya Perkawinan Antarsaudara Dekat?