Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jagaddhito Probokusumo
Residen Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP Dr Sardjito

Residen Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP Dr Sardjito dan Koordinator Tim Bantuan Residen Tim Mitigasi Dokter PB IDI.

 

Mengukur Kualitas Layanan dan Produk Kesehatan

Kompas.com - 30/03/2021, 10:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Jagaddhito Probokusumo*

SEORANG warga Desa Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, bernama Henderjeta Ilelapotoa (40) terbaring sakit akibat kanker payudara yang dideritanya.

Ia dan keluarganya tidak dapat menjalani perawatan di rumah sakit karena tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan tidak memiliki biaya. Selama ini dia hanya menggunakan obat-obatan herbal.

Kondisinya saat ini semakin parah, tidur hanya bisa menyamping dan tubuhnya juga sudah dipenuhi luka (Kompas, 27 Februari 2021).

Lain halnya dengan kisah Hamis Dalimotong, penduduk Pulau Lirang, Maluku Barat. Ia terpaksa dibawa naik boat ke Pulau Artauro, Timor Leste, beserta istri dan anaknya akibat borot di anus yang tak kunjung sembuh.

Baca juga: Sakit di Indonesia, Mereka Terpaksa Berobat ke Timor-Leste

Ternyata di Pulau Artauro, Hamis tidak bisa ditangani. Pemerintah Timor Leste lantas mengirim helikopter khusus untuk menjemput Hamis ke Dili.

Setelah berbulan-bulan di Dili akhirnya Hamis meninggal akibat kanker anus stadium lanjut itu. Biaya perawatan Hamis dan keluarga untuk hidup berbulan-bulan di Dili sepenuhnya ditanggung pemerintah Timor Leste, tanpa harus menunjukkan KIS (Kompas, 2 April 2016).

Baca juga: Mulai 1 April, Warga Surabaya yang Ingin Mendapatkan Layanan Kesehatan Cukup Pakai KTP

Kasus Henderjeta dan Hamis hanyalah contoh kecil dari banyak kasus serupa di Indonesia. Tidak hanya dialami masyarakat di daerah terpencil, kondisi serupa juga terjadi di masyarakat di kota besar.

Belum tersedianya fasilitas kesehatan yang merata di Indonesia, mengharuskan pasien-pasien dirujuk ke kota besar untuk mendapatkan tatalaksana medis lebih lanjut.

Rujukan ini memiliki konsekuensi yang tidak mudah bagi pasien dan keluarganya. Benar bahwa untuk biaya pengobatan saat ini ditanggung oleh pemerintah melalui KIS dan diharapkan semua biaya gratis untuk berobat.

Namun, bagaimana dengan biaya yang harus ditanggung pasien dan keluarganya untuk transportasi dan akomodasi selama menjalani perawatan di kota rujukan?

Siapa yang harus menunggu para pasien? Bagaimana dengan keluarga atau anak-anak pasien yang mereka tinggalkan?

Bagaimana dengan keluarga pasien yang harus meninggalkan pekerjaannya untuk menunggu pasien?

Masih merupakan jalan panjang bagi negara hadir sepenuhnya untuk menjaga kesehatan rakyatnya secara holistik.

Baca juga: Jakarta Punya 4 Layanan Kesehatan Gratis bagi Warga di Luar JKN

Memahami layanan medik

Di pengujung jabatannnya, Dirut BPJS Kesehatan menyampaikan berita yang luar biasa menggembirakan. BPJS Kesehatan melaporkan arus kas positif Rp 18,7 triliun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com