KOMPAS.com - Indonesia menargetkan pada tahun 2030 kasus kejadian HIV/AIDS akan berakhir.
Target untuk mengakhiri HIV/AIDS di tahun 2030 bisa dinyatakan berhasil jika tidak ada infeksi HIV baru, tidak ada kematian karena AIDS, dan tidak ada stigma serta diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Dalam upaya mencapat target tersebut, sejumlah pemangku kepentingan berkolaborasi untuk dapat memberikan edukasi yang jelas dan tepat terkait seks kepada masyarakat terutama remaja, termasuk di dalamnya adalah pendidikan tentang penyakit infeksi menular seksual (IMS), di mana salah satunya adalah HIV/AIDS.
Kolaborasi tersebut melibatkan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (Ksimsi), Durex Edu5eks PT Reckit Benckises (RB) Indonesia, sejumlah organisasi kemahasiswaan AMSA dan CIMSA, serta didukung oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Baca juga: Indonesia Targetkan Akhiri HIV/AIDS 2030, Bagaimana Kondisinya di Masa Pandemi Covid-19?
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan RI, dr Siti Nadia Tarmizi MEpid mengatakan bahwa di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini, HIV/AIDS tidak boleh luput dari perhatian dan kolaborasi penting dilakukan.
"Semangat kolaborasi yang kuat untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya remaja, tentang pencegahan IMS dan kesehatan reproduksi itu sangat penting," kata Nadia dalam diskusi daring bertajuk Perkuat Kolaborasi, Tingkatkan Solidaritas Antar Pemangku Kepentingan untuk Menuju 10 Tahun Akhiri AIDS di 2030, Senin (30/11/2020).
Sebagai informasi, Peraturan Menteri Kesehatan No.4 tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidan Kesehatan yang telah mengutamakan peningkatan promotif dan pencegahan preventif dari HIV/AIDS.
Ketua Tim Penasihat Kolegium Perdoski, Prof dr Sjaiful Fahmi Daili SpKK(K) mengatakan bahwa menekankan pentingnya pendidikan seks bagi remaja adalah tindakan penting sebagai kegiatan promotif dan preventif.
Sjaiful berkata, tujuan pendidikan seks adalah untuk memberikan tuntunan dan bimbingan kehidupan yang berkaitan dengan jenis kelamin, kehidupan mencintai, hingga rasa tanggung jawab.
"Kegiatan pendidikan seks ini harus senantiasa dipupuk sejak masa kanak-kanak hingga dewasa," ujarnya.
Sebab, terdapat korelasi yang tinggi antara IMS dan HIV/AIDS, sehingga upaya preventif harus dimulai dari unit terkecil masyarakat.
Akan tetapi, kata dia, pendidikan seks tidak bisa asal diberikan begitu saja.
Edukasi seksual yang akan diberikan kepada masyarakat juga harus melibatkan aspek moral, sosial, kesehatan dan agama, di mana dokter akan berperan memberikan pengobatan dan pemerintah mendesain program serta regulasinya.
Sependapat dengan Sjaiful, Ketua Umum KSIMSI, dr Hanny Nilasari SpKK mengatakan bahwa kesehatan reproduksi pada remaja menjadi sangat penting dalam rangka menyambut agenda Indonesia sehat.
"Mengingat IMS adalah salah satu pintu masuk penularan HIV/AIDS, maka kampanye dan edukasi seksual pada populasi remaja harus terus digiatkan," kata Hanny.