KOMPAS.com - Beberapa hari terakhir, kita kerap mendengar atau membaca tentang Masyumi Reborn.
Jauh sebelum Masyumi Reborn, dulu Indonesia memiliki partai politik besar yang bernama Partai Majelis Syuro Muslimin (Masyumi).
Bagaimana perjalanan partai politik terbesar di Indonesia ini, dari terbentuk hingga bubar?
Baca juga: Jarang Disorot, Ini 3 Peran Penting Etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda
Sebelum Masyumi dibentuk oleh Jepang pada 1943, ada organisasi bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI).
Menurut sejarawan DR. Arif Akhyat, M.A, organisasi MIAI dibentuk saat masa pendudukan Jepang di tahun 1942.
Namun karena MIAI dinilai kurang progresif, MIAI berubah menjadi Masyumi pada 24 Oktober 1943.
"(Masyumi) diberikan izin oleh Jepang. Karena nama Masyumi seperti kata (dalam bahasa) Jepang. (Saat masa pendudukan) Jepang, kalau menyimpang dari politik Jepang, akan ditolak," kata Arif kepada Kompas.com melalui telepon, Senin (9/11/2020).
Tokoh-tokoh seperti Sukiman Wiryosanjoyo, Muhammad Natsir, dan Prawoto Mangkusasmito adalah pelopor Masyumi di tahun 1943.
Tidak lama setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada November 1945, Masyumi berubah menjadi partai politik.
Arif yang juga merupakan Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan, partai politik Masyumi hidup dan berkembang dengan tiga organisasi Islam, yakni Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
"Yang mayoritas di dalam Masyumi itu dulu ada Persis, Muhammadiyah, dan NU. Persis dan Muhammadiyah yang (organisasi) modern, sementara yang tradisional diwakili oleh NU," papar Arif.
Selama Masyumi terbentuk, partai politik ini banyak mengkritik Soekarno.
"Kebijakan-kebijakan politiknya Soekarno dianggap (Masyumi) tidak demokratis, lebih otoriter, dan suatu saat Soekarno condong ke partai politik tertentu, juga dekat dengan Angkatan Darat," kata Arif.
"(Kebijakan Soekarno) itu yang dianggap kurang demokratis oleh Masyumi."
Kritik-kritik oleh Masyumi untuk Soekarno terus bergulir. Menurut analisa Arif, hubungan antara Masyumi dan Soekarno yang tidak sejalan ini juga turut berpengaruh terhadap hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta, dwitunggal pemimpin saat itu.