Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Partikulat Polusi Udara Turunkan 2 Tahun Harapan Hidup Manusia

Kompas.com - 30/07/2020, 07:32 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa partikulat polusi udara telah memotong harapan hidup masyarakat dunia hingga dua tahun.

Dua tahun angka harapan hidup yang terpotong itu, sudah dibandingkan dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang harus dipenuhi oleh negara-negara di dunia.

Pedoman WHO terkait meningkatkan harapan hidup ialah dengan memerhatikan tingkat paparan yang aman, standar kualitas udara nasional yang ada, atau tingkat kualitas udara.

Hasil penelitian ini telah dimuat dalam laporan tahunan 2020 mengenai Indeks Kehidupan Berdasarkan Kualitas Udara (Air Quality Life Index atau AQLI).

Baca juga: Polusi Udara Tahun 2020 Tewaskan Hampir 100.000 Orang di Dunia

Untuk diketahui, AQLI yaitu indeks pencemaran udara yang menerjemahkan partikulat polusi udara menjadi metrik paling penting yang berpengaruh terhadap harapan hidup.

AQLI ini dikembangkan oleh Profesor Layanan Terkemuka Milton Friedman dari Universitas Chicago, Michael Greenstone beserta timnya di Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago (EPIC).

AQLI menemukan bahwa partikulat udara terus memangkas harapan hidup masyarakat dunia selama hampir dua tahun.

Sementara di tempat lain, beberapa negara terus berupaya mengimbangi kualitas udara yang memburuk.

Michael dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, data terbaru AQLI yang mengonversi partiekl polusi udara terhadap harapan hidup manusia ini, mengungkapkan bahwa partikel polusi berisiko besar bagi kesehatan manusia sebelum Covid-19 dan masih bisa mengancam setelah pandemi Covid-19.

Kondisi partikulat polusi ini menjadi masalah penting selama dua dekade terakhir, dengan rata-rata global penurunan harapan hidup akibat polusi udara mencapai dua tahun.

Di saat bersamaan, usaha keras untuk mengimbangi kondisi yang kian memburuk itu telah dilakukan negara seperti China.

Namun, jika kondisi ini terjadi tanpa dibuat kebijakan publik yang kuat dan berkelanjutan di semua negara di dunia. Maka, masalah itu akan terus berlanjut hingga setelah pandemi Covid-19 selesai.

Baca juga: Polusi Udara di Jakarta Nomor Dua di Dunia, Ahli Ingatkan Perlunya Penanganan Segera

Ilustrasi gas beracun dan polusi udara.SHUTTERSTOCK Ilustrasi gas beracun dan polusi udara.

"Kenyataannya adalah tidak ada suntikan di lengan yang bisa mengurangi paparan polusi udara. Solusinya terletak pada kebijakan publik yang kuat," kata Michael.

Sebab, tanpa disadari partikulat polusi inilah yang menjadi pembunuh setiap harinya karena menyebabkan miliaran orang menjalani hidup lebiih pendek hingga mengalami sakit lebih parah.

Bekerja dengan tak terlihat di dalam tubuh manusia, partikulat polusi memiliki dampak yang lebih menghancurkan pada harapan hidup manusia ketimbang penyakit menular seperti TBC, HIV/AIDS, perilaku yang merusak seperti merokok, dan bahkan perang.

Faktanya, di wilayah Afrika Tengah dan Barat di mana penyakit seperti HIV/AIDS dan malaria secara tradisional telah menjadi berita utama, partikel polusi sama seriusnya dengan ancaman kesehatan yang memiliki dampak pada harapan hidup.

Serta, hampir seperempat populasi dunia saat ini tinggal di empat negara di Asia Selatan yang masuk dalam wilayah paling tercemar di dunia.

Informasi ini dapat membantu memberi informasi kepada masyarakat lokal dan pembuat kebijakan tentang pentingnya kebijakan polusi udara secara konkret.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com