Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Ada Orang Tidak Merokok tapi Kena Penyakit Paru Obstruktif Kronis?

Kompas.com - 13/06/2020, 10:03 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com - Satu di antara empat orang yang terkena penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) bukanlah perokok. Hal ini telah lama membingungkan peneliti.

Namun, kini sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association mungkin bisa menjawabnya.

Dalam laporan yang ditulis oleh Benjamin M. Smith, MD dari sekolah kedokteran Columbia University dan kolega, saluran napas berbentuk cabang yang relatif kecil bila dibandingkan dengan volume paru-paru mungkin meningkatkan risiko PPOK pada perokok dan non-perokok.

Untuk diketahui, ketidakcocokan ukuran antara volume paru-paru dengan saluran napas yang berbentuk cabang ini disebut dysanapsis. Kondisi ini diyakini terjadi karena pertumbuhan saluran pernapasan yang lebih lambat daripada volume paru-paru pada masa kecil.

Baca juga: Hari Tanpa Tembakau Sedunia, WHO Ingatkan Rokok Memperparah Risiko Infeksi Covid-19

Smith mengatakan, temuan kami menunjukkan bahwa dysanapsis adalah faktor risiko COPD besar - setara dengan kebiasaan merokok.

Dia melanjutkan, dysanapsis diyakini muncul pada awal kehidupan. Mempelajari basis biologis dari dysanapsis mungkin bisa menjadi intervensi usia dini untuk mempromosikan perkembangan paru-paru yang sehat dan tangguh.

Kaitan antara dysanapsis dan PPOK ditemukan oleh Smith dan kolega setelah menganalisis berbagai data kesehatan, termasuk hasil pemindaian CT (CT Scan), dari 6.500 orang dewasa tua yang tergabung dalam tiga studi paru-paru besar di Amerika Serikat dan Kanada.

Mereka menemukan bahwa orang-orang dengan saluran pernapasan relatif kecil memiliki fungsi paru terburuk dan risiko PPOK tertinggi, bahkan sampai delapan kali lipat orang normal.

Baca juga: Perokok Anak Meningkat, Pemerintah Perlu Perketat Pengendalian Rokok

Hasil studi ini mendukung temuan tahun 2015 yang dipublikasikan dalam jurnal The New England Journal of Medicine. Studi tahun 2015 tersebut memaparkan dua jalur seseorang bisa terkena PPOK.

Satu jalur adalah individu dengan paru-paru normal mengalami penurunan cepat setelah bertahun-tahun terpapar zat-zat berbahaya seperti asap rokok dan polusi udara.

Sementara itu, jalur kedua dialami individu dengan fungsi paru-paru yang sudah tidak optimal sejak kecil, misalnya karena dysanapsis. Kondisi ini, ujar Smith, meningkatkan risiko PPOK bahkan tanpa perlu adanya penurunan fungsi paru-paru akibat zat-zat berbahaya.

Di sisi lain, Smith dan kolega juga menemukan bahwa para partisipan studi yang sudah lama merokok dan tidak mengalami PPOK ternyata memiliki saluran napas yang lebih besar bila dibandingkan dengan volume paru-parunya.

Baca juga: Rokok dan Polusi Udara, Mana yang Lebih Mematikan?

"Ini menunjukkan bahwa orang-orang pada ujung satunya dari sprektum dysanapsis, misalnya mereka dengan saluran napas yang lebih besar, mungkin bisa menerima kerusakan yang lebih besar dari merokok sambil bertahan secukupnya untuk menghindari PPOK," kata Smith.

"Tentu saja, efek berbahaya dari merokok masih lebih banyak lagi, termasuk kanker paru-paru, penyakit jantung dan stroke. Jadi mereka yang masih merokok harus berusaha sebaik mungkin untuk berhenti," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com