Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/06/2020, 18:03 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

KOMPAS.com – Pada Selasa (2/6) malam, api berkobar di pemukiman warga di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Api menjalar dari satu rumah kontrakan ke beberapa rumah tetangga.

Satu jam sejak kebakaran berawal, api berhasil dipadamkan. Sebanyak 54 warga terpaksa kehilangan tempat berteduh malam itu. Masjid dan gereja dijadikan tempat pengungsian.

Baca juga: Update Corona Dunia 4 Juni: 6,58 Juta Orang Terinfeksi, 3,1 Juta Sembuh

Pagi harinya, tenaga medis dari Puskesmas Tanjung Priok datang memeriksa kesehatan masing-masing pengungsi. Di tengah pemeriksaan itu, salah seorang wanita mengaku ia dinyatakan reaktif rapid test Covid-19.

 

Namun, wanita tersebut tidak mengikuti saran rumah sakit untuk melapor ke Puskesmas di dekat tempat dirinya tinggal. Informasi tersebut menggemparkan lokasi pengungsian.

Stigma terhadap pasien Covid-19

Kepada Kompas.com, Dosen dan Psikolog Klinis dari Fakultas Psikologi UNAIR, Tri Kurniati Ambarini, M.Psi., menyebutkan bahwa adanya stigma terhadap pasien Covid-19 disebabkan oleh masifnya arus informasi.

“Ada informasi negatif, ada informasi positif. Informasi negatif di sini mungkin bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, namun tidak semua orang bisa menyeimbangkan antara informasi negatif dan positif itu,” tutur Tri beberapa waktu lalu.

Secara psikologis, lanjutnya, manusia lebih mudah menyerap informasi negatif dan membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang kita percaya.

Baca juga: Psikologi Jelaskan Penyebab Masyarakat Tak Patuh Protokol Corona Covid-19

Di Indonesia, hal ini berkaitan erat dengan minimnya literasi mengenai kesehatan, di mana masyarakat tidak dibiasakan berhadapan dengan data yang seimbang.

Stigma ditimbulkan oleh minimnya kemampuan untuk menyeimbangkan informasi positif dan negatif, serta sedikitnya literasi masyarakat.

“Stigma yang muncul dalam kasus ini adalah pasien positif Covid-19 akan dijauhi, diisolasi, jauh dari keluarganya. Apakah pasien akan sembuh sepenuhnya, atau akan menginfeksi orang terdekatnya,” papar Tri.

Ilustrasi penyebaran virus coronaShutterstock Ilustrasi penyebaran virus corona

Hal yang terjadi selanjutnya sama dengan apa yang dilakukan oleh wanita di pengungsian di Tanjung Priok. Ia melakukan perilaku berkebalikan dari help seeking (mencari pertolongan), di mana seharusnya pasien mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan.

“Stigma ini muncul ditandai dengan adanya penolakan dari masyarakat. Penyangkalan, kebohongan, bahkan seperti penolakan jenazah. Covid-19 ini muncul dalam waktu yang sangat cepat untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan,” papar Tri.

Baca juga: Soal Penolakan Jenazah Corona, Ahli Sebut Perlu Edukasi Hilangkan Stigma

Stigma seperti ini pernah terjadi beberapa tahun lalu terhadap para penderita HIV/AIDS. Namun kasusnya berbeda dengan Covid-19, yang memiliki rentang waktu singkat dan genting.

“Stigma terhadap pasien HIV/AIDS akhirnya pudar setelah bertahun-tahun. Tapi dalam kasus Covid-19, masyarakat tidak punya waktu untuk beradaptasi. Tiba-tiba semua aktivitas berubah, tidak bisa keluar rumah, gentingnya sangat terasa,” tambah Tri.

Komunikasi tepat sasaran

Terkait penyangkalan dan stigma ini, Tri menyebutkan perlunya komunikasi dan pemberian informasi yang seimbang sesuai dengan kelas ekonomi dan status sosial.

“Orang-orang yang berada pada status sosial menengah ke atas sangat mudah dididik. Namun mereka yang statusnya menengah ke bawah, kita butuh memberikan informasi sesuai kebutuhan mereka,” tuturnya.

Baca juga: Stigma Kusta Sepanjang Masa

Salah satu jalur terbaik untuk menjangkau masyarakat menengah ke bawah, menurut Tri, adalah dengan memanfaatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Puskesmas.

“Beda daerah, beda lagi cara penyampaiannya. Komunikasi kita harus tepat sasaran, tidak bisa ngomong dengan standar normal kita,” imbuhnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com