Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PLTU Baru Makin Tingkatkan Potensi Emisi Gas Rumah Kaca, Kok Bisa?

Kompas.com - 30/03/2020, 19:31 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis


KOMPAS.com - Indonesia berencana mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru, yang mana rencana ini sangat bertentangan dengan komitmen pengurangan emisi global dari gas rumah kaca.

Dalam video conference Perlunya Perubahan Kebijakan Kelistrikan Di Tengah Pandemi Covid-19 dan Krisis Iklim, Greenpeace menyoroti upaya pemerintah menambah PLTU baru untuk meningkatkan suplai energi kelistrikan.

Menurut Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF, Dosen FEB Universitas Indonesia (UI), konsumsi listrik per kapita di Indonesia masih sangat rendah.

"Untuk itu, Indonesia memang perlu suplai lebih banyak listrik. Sebab, konsumsi listriknya dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, masih cukup rendah," ujar Berly, Senin (30/3/2020).

Baca juga: Pemanasan Global, Emisi Gas Rumah Kaca Masih Tinggi di Atmosfer

Sementara, saat ini pembangunan Indonesia sedang fokus pada pengembangan sektor industri yang kini tengah menjadi tren di kawasan Asia, terutama di Malaysia dan Thailand.

Kendati demikian, menurut data Handbook Of Energy & Economic Statistics Of Indonesia (HEESI) tahun 2008, sumber tenaga listrik masih didominasi oleh batubara, sedangkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) baru sekitar 14 persen.

"Sebanyak 50 persen didominasi batubara. Padahal kita tahu, batubara memiliki banyak dampak buruk bagi lingkungan. Apalagi di masa wabah Covid-19 ini, menjadi kombinasi buruk bagi gangguan pernapasan. Itu bahaya sekali bagi kesehatan," papar Berly.

Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengatakan rencana pembangunan PLTU baru dalam seperti tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), bertolak belakang dengan tren global saat ini.

Baca juga: Pembangunan PLTU Celukan Bawang II Ditentang, Ada Apa?

Adila membeberkan PLTU baru direncanakan akan dibangun sebesar 27.000 megawatt (MW) yang akan dibangun berdasarkan RUPTL 2019-2028). Sedangkan PLTU yang ada saat ini sebesar 28.000 MW.

"Sebenarnya, keinginan Indonesia untuk membangun PLTU baru ini sangat bertentangan dengan tren di beberapa negara di dunia yang justru mengurangi pembangunan PLTU batubara," ungkap Adila.

Dalam empat tahun terakhir, rencana pembangunan PLTU batubara di dunia telah berkurang cukup banyak.

Sektor energi sumbang emisi karbon terbesar

Indonesia sendiri, lanjut Adila, telah mencantumkan komitmen perubahan iklim dalam National Determined Contribution (NDC) untuk menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Pemerintah berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Namun, menurut Climate Asian Tracker, kata Adila, komitmen ini tidak cukup memberi dampak pengurangan emisi tersebut.

"Untuk saat ini, sektor energi menjadi sektor kedua terbesar sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca dan diramalkan pada 2030, berdasarkan proyeksinya, sektor ini akan menjadi kontributor emisi yang terbesar di Indonesia," ungkap Adila.

Baca juga: Demi Kurangi Emisi Karbon, Jepang Perbanyak Penggunaan Energi Nuklir

Sementara, sektor energi sendiri memiliki target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton di tahun 2030 mendatang.

Penambahan PLTU batubara ini akan berpotensi mengunci emisi gas rumah kaca selama 40 tahun mendatang, sebab masa operasional PLTU ini berlangsung selama itu.

Lantas seberapa banyak potensi emisi gas rumah kaca yang dapat dilepas dengan penambahan PLTU baru ini?

Adila membeberkan PLTU dengan 28.000 MW yang saat ini beroperasi, sedikitnya menghasikan emisi sebesar 168 juta ton per tahun. Jumlah ini setara dengan emisi yang dilepaskan 80 juta mobil per tahunnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com