Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/03/2020, 17:03 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Editor

Oleh drh. Yeremia Yobelanno Sitompul, M.Sc

"EVERY disaster movie starts with the government ignoring the scientist". Inilah kalimat yang tertera di spanduk demo terkait isu perubahan iklim yang dilakukan oleh ribuan pelajar di dunia pada tahun 2019.

Secara harfiah, kalimat tersebut berarti "Setiap film tentang bencana selalu diawali dengan pemerintah yang mengabaikan pendapat peneliti". Film bertemakan bencana di sini selain bencana alam, termasuk juga film fiksi tentang wabah penyakit, zombie/mayat hidup, hingga serangan monster atau alien.

Pernyataan ini dimaksudkan untuk menuntut pemerintah mengakui adanya perubahan iklim dan bertindak untuk mencegahnya. Namun, jika benar-benar mencermati jalan cerita film-film tentang bencana, entah bagaimana awal penyebab suatu bencana itu, kebanyakan orang yang selamat di akhir cerita adalah orang-orang yang bertindak berdasarkan pengetahuan yang diterima.

Sebagai contoh, di serial televisi berjudul Kingdom yang bercerita tentang wabah mayat hidup pada masa kerajaan di Korea, terdapat tokoh seorang tabib yang terus mencari penyebab utama hingga cara pencegahan infeksi wabah. Akhir episode yang terbaru menceritakan bagaimana tokoh utama, seorang putra mahkota, berhasil meredakan wabah tersebut karena mengikuti "pengetahuan" dari sang tabib.

Masyarakat Indonesia yang tidak percaya riset

Saat ini, wabah Coronavirus Disease (Covid-19) menjadi isu kesehatan yang paling menghebohkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penanggulangan ekstrem seperti lockdown suatu daerah bahkan satu negara pun dilakukan supaya meminimalisir persebaran penyakit.

Indonesia? Pemerintah telah menghimbau ‘saatnya belajar dari rumah, kerja dari rumah, ibadah di rumah’, jangan keluar rumah kecuali itu penting sekali. Pesan singkat dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang berisi himbauan tentang social distancing pun tentu telah diterima oleh masyarakat yang mempunyai handphone.

Berbagai respons masyarakat bermunculan, sayangnya termasuk yang bersifat negatif.

Muncul kepanikan masyarakat dengan membeli masker dalam jumlah berlebihan, bahkan meski harganya dinaikkan jauh melebihi dari normalnya. Himbauan WHO bahwa masker lebih efektif digunakan oleh orang yang sakit dan tenaga medis yang bertugas dibanding orang awam yang sehat pun tidak dihiraukan masyarakat.

Di satu sisi, himbauan untuk kerja di rumah malah dipandang sebagai waktunya berlibur. Berbagai berita melaporkan terjadi penumpukan pengunjung di beberapa tempat wisata.

Viralnya video-video singkat tentang simulasi keberhasilan meminimalisir penyebaran COVID-19 apabila mengurangi aktivitas di luar rumah yang mengacu dari pendapat-pendapat para ahli pun ternyata tidak mampu membuat seluruh masyarakat patuh. Malahan, Info-info hoaks banyak di-repost dan di-like di media sosial.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa masyarakat lebih percaya informasi hoaks seperti kumur-kumur air garam dan konsumsi bawang putih untuk mencegah infeksi, dibanding mematuhi himbauan pemerintah, bahkan WHO.

Neil deGrasse Tyson, seorang ahli astrofisika yang cukup terkenal, mengeluarkan jawaban menarik ketika ditanyai tentang wabah Covid-19 dalam suatu acara televisi. Setelah menegaskan itu bukan bidang keahliannya; menurut dia, wabah Covid-19 bagaikan sebuah eksperimen besar untuk menguji apakah masyarakat mau melaksanakan himbauan dari para ilmuwan di bidang terkait wabah ini.

Andaikan benar demikian, bisa jadi masyarakat Indonesia termasuk memiliki nilai kepatuhan yang sangat rendah terhadap himbauan-himbauan para ilmuwan.

Pada hakikatnya, para ilmuwan tentu memiliki referensi ilmiah dan tidak sembarangan dalam menyampaikan pendapat atau himbauan sesuai dengan bidang keilmuannya. Referensi ilmiah ini tentu berasal dari hasil suatu riset yang berkualitas serta bersifat netral dan obyektif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com