Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kecelakaan Kereta Api di India Bisa Jadi Pelajaran Berharga bagi Indonesia

Kompas.com - 05/06/2023, 09:30 WIB
Masya Famely Ruhulessin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dunia transportasi internasional kembali berduka pada Jumat (2/6/2023). Sedikitnya 288 orang tewas dan 800 orang lebih terluka dalam tabrakan yang melibatkan sejumlah gerbong kereta api di Negara Bagian Odisha, India bagian timur.

Kronologinya, terdapat kereta barang dalam keadaan berhenti (stabling) di jalur yang berbeda. Lalu kereta api (KA) Coromandel Express yang tergelincir/anjlok dan menabrak dengan kereta barang tersebut.

Sementara itu, dalam waktu bersamaan datang kereta api lain dari arah berlawanan, yakni KA Shalimar Express.

Baca juga: 5 Hari Libur Panjang, 593.130 Orang Gunakan Kereta Api

Kereta tersebut kemudian menabrak KA Coromandel Express yang anjlok tadi dari belakang. Ketika 3 kereta api (1 KA barang dan 2 KA penumpang) tersebut bertabrakan dapat dibayangkan bagaimana kondisinya terlebih jika 2 kereta penumpang memiliki muatan penuh.

Memang belum ada laporan resmi dari Kementerian Perkeretaapian India mengenai penyebab kecelakaan.

Namun, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan, kejadian kecelakaan tersebut dapat dijadikan pelajaran berharga bagi perkeretaapian di Indonesia.

Menurut Deddy, kondisi dan teknologi perkeretaapian Indonesia dengan India tidak berbeda jauh sebagai heavy rail konvensional (bukan MRT dan LRT) yang masih menggunakan Grade of Automation level 0 (GoA 0) yang tanpa Automatic Train Protection (ATP).

 

Kereta api di distrik India bagian Timur tersebut tidak memiliki anti-collision system (sistem pencegahan kecelakaan), kenyataan ini sama seperti sistem operasi kereta api di Indonesia,” jelasnya dalam rilis yang diterima Kompas.com, Senin (5/6/2023).

Instran menerangkan, kecelakaan kereta api seperti di India tersebut dapat terjadi di negara manapun bila standar GoA nya masih level 0 atau tanpa ATP.

Dalam hal ini KA lawan arah anjlok kereta terguling melintang di rel lalu di saat yang sama ditabrak KA dari arah berlawanan dari rel ganda.

“Di Indonesia kejadian ini juga bisa terjadi di rel ganda atau di dwi rel ganda seperti petak Jatinegara–Bekasi,” papar Deddy.

Baca juga: Pemda Papua Ingn Punya Kereta Api seperti di Sumatera Selatan

Selanjutnya, harus dilakukan berbagai langkah mitigasi risiko yakni mitigasi aktif dan pasif. Mitigasi aktif berupa peralatan untuk mencegah tabrakan, misalnya ATP.

Sementara mitigasi pasif untuk meminimalisir kerugian, khususnya korban jiwa bila terjadi tabrakan, misalnya crashworthiness yang dipasang di sarana kereta api.

Pemerintah Indonesia juga disarankan untuk menaikan level keselamatan kereta api minimal menggunakan ATP.

Hal ini penting dilakukan karena jika terjadi gangguan persinyalan atau ada rintangan jalur kereta api akan berhenti sendiri secara otomatis atau manual.

“Naik kelas level keselamatan di perkeretaapian minimal dapat dilakukan prioritas di wilayah operasi yang padat lalu lintas kereta apinya seperti di wilayah Jabodebek karena terdapat perjalanan kereta api antarkota dan KRL,” tegas Deddy.

Ditambahkan bahwa sangat diperlukan Clearance Disorder Detector (CDD) yang berfungsi jika tertimpa kereta yang anjlok pada arah rel sebelahnya seperti kecelakaan kereta api di India.

“CDD ini juga telah terpasang di MRT Jakarta. Jadi bila CDD tersebut tersentuh kereta api yang anjlok, kereta api yang datang berlawanan arah akan berhenti otomatis atau manual oleh masinis,” tandas Deddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com