Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arief Sabaruddin
Peneliti

Peneliti Bidang Arsitektur Perumahan

Problematika Penyediaan Perumahan di Perkotaan

Kompas.com - 15/02/2023, 17:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENDUDUK Indonesia telah mencapai 277,7 juta tahun pada 2022 (data Badan Pusat Stastiktik/BPS). Dari jumlah itu, sebanyak 57,9 persen tinggal di perkotaan.

Jumlah penduduk perkotaan akan meningkat terus. Diperkirakan jumlahnya akan mencapai 60 persen tahun 2030. Pada 2050, jumlah penduduk perkotaan akan mencapai 70 persen. Dengan rata-rata usia penduduk adalah 30,3 tahun, yang merupakan usia produktif dan merupakan kelompok keluarga pasangan muda.

Pertambahan penduduk perkotaan yang terus tumbuh secara eksponensial tentu harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal layak huni dan terjangkau di perkotaan yang dilengkapi dengan sarana, prasarana, dan utilitas perkotaan yang memadai.

Baca juga: Kiat Singapura Bereskan Masalah Perumahan

Bila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perkotaan, akan timbul berbagai masalah seperti tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh, kemacetan, kekurangan air bersih, termasuk timbulnya masalah sosial seperti kriminalitas, vandalisme, serta masalah kesehatan yang berdampak pada stunting.

Bila tidak diselesaikan, permasalahan tersebut dapat menghambat kita dalam mewujudkan visi nasional menuju Indonesia Emas 2045. Dengan demikian, penyediaan perumahan perkotaan merupakan faktor determinan yang dapat mewujudkan visi nasional tersebut.

Faktanya, kita masih menghadapi tantangan sangat berat dalam mewujudkan hal tersebut. Realisasi penyediaan perumahan perkotaan masih sangat rendah, terutama yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Rusun

 

Mengingat adanya keterbatasan lahan di perkotaan, tipe perumahan di perkotaan yang tidak menimbulkan masalah lingkungan dan sosial-ekonomi pada jangka panjang adalah tipe hunian vertikal alias rumah susun. Rumah susun merupakan solusi yang paling murah dari sisi sosial dan ekonomi secara makro serta lebih murah dari sisi lingkungan.

Kita tidak dapat membandingkan antara harga jual rumah susun dengan rumah tapak saat ini, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri PUPR No. 424/KPTS/M/2020, harga jual unit hunian rumah susun dua hingga tiga kali harga jual rumah tapak.

Ada biaya kemahalan pada rumah tapak. Salah satunya adalah biaya lingkungan, yang diakibatkan urban sprawl, kota menjadi tidak efisien, karena harus menyediakan infrastruktur yang lebih mahal, perlu energi yang lebih besar untuk mobilitas penduduk, waktu yang lebih panjang di perjalanan, ditambah dengan kemacetan akibat daya dukung infrastruktur yang terbatas.

Pembangunan rumah tapak dalam rangka mendukung kebutuhan perumahan perkotaan juga telah mengakibatkan konversi lahan. Ironisnya lahan-lahan produktif juga merupakan lahan potensial yang digunakan untuk kebutuhan perumahan.

Banyak petani melepas lahannya demi mendapatkan uang secara instan. Sektor pekerjaan di luar pertaniaan menjanjikan penghasilan yang lebih baik bagi petani. Hal itu sesuai dengan teori Maslow, yang menempatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi terlebih dahulu, sebelum pemenuhan kebutuhan keselamatan yang melekat pada rumah.

Baca juga: Tiga Masalah Perumahan yang Belum Disentuh Anies dan Ahok

Untuk mencegah hal itu, Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2020 diterbirkan. Permen itu menetapkan peta Lahan Sawah Yang Dilindungi dalam rangka mencegah terjadinya konversi lahan-lahan sawah produktif.

Mengingat initial cost rumah susun yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tapak, maka penyediaan rumah di perkotaan tidak selalu harus dengan pendekatan milik, akan tetapi dapat didorong dengan pendekatan sewa (sebagai wujud dari public housing). Dengan demikian masyarakat akan terjamin mendapatkan tempat tinggal layak huni dan terjangkau di perkotaan.

Data BP Tapera menunjukkan realisasi program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang dikelola sejak tahun 2010 oleh BLU-PPDPP hingga hari ini dalam pengelolaan BP Tapera. Data itu menyebutkan, realisasi penyaluran FLPP telah mencapai 1.169.042 juta unit (debitur MBR). Namun realisasi unit hunian rumah susun hanya 537 unit (hanya 0,046 persen).

Hal itu menunjukkan adanya keterbatasan masyarakat perkotaan untuk menjangkau kepemilikan unit hunian rumah susun di perkotaan. Di samping itu ada masalah lain yang terkait dengan keterbatasan pasokan unit rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah, baik dengan sistem kepemilikan maupun sistem sewa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com