Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arief Sabaruddin
Peneliti

Peneliti Bidang Arsitektur Perumahan

Kebijakan Perumahan yang Efektif demi Menggapai Indonesia Emas 2045

Kompas.com - 05/01/2023, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UNTUK menilai efektivitas kebijakan perumahan diperlukan beberapa parameter pengukuran, di antaranya adalah melalui pengukuran bakclog perumahan. Sejak tahun 2003, indikator kinerja perumahan di Indonesia diukur melalui penyelesaian backlog perumahan.

Backlog perumahan merupakan keadaan di mana jumlah rumah yang dibangun tidak memenuhi jumlah kebutuhan rumah maysarakat. Jadi, ada kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan warga. Backlog dihitung berdasarkan kebutuhan satu unit rumah untuk satu rumah tangga atau kepala keluarga (KK).

Backlog perumahan naik terus

Tahun 2004 backlog perumahan mencapai 5,2 juta unit rumah. Sejalan dengan berjalannya waktu, hingga 2022 jumlah backlog terus bertambah hingga mencapai 12,7 juta unit. Padahal selama itu pula, yaitu 18 tahun, program-program pemerintah dijalankan untuk mengatasi masalah persediaan perumahan.

Baca juga: Pemerintah Targetkan Backlog Rumah 0 Persen Tahun 2045, Grand Design Terbit Sebelum Natal

Namun selama masa itu pula terjadi peningkatan jumlah backlog hingga hampir tiga kali lipat. Bila tidak ada upaya terobosan, tahun 2045, pada saat Indonesia Emas, 100 tahun Indonesia merdeka, jumlah backlog diperkirakan dapat mencapai 25 juta unit atau 25 juta kepala keluarga tidak memiliki rumah.

Kondisi itu mengkhawatirkan bagi pencapaian visi nasional, mewujudkan Indonesia Emas, dengan harapan kita menjadi negara maju dan sejahtera. Kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa secara merata hanya akan dapat dicapai bila kebutuhan dasar warganya terpenuhi, yakni kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Di sektor papan, jika terjadinya peningkatan jumlah backlog di tahun 2045 itu  menjadi catatan dan habatan dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Untuk itu, kita perlu melakukan evaluasi demi bisa menghadirkan terobosan kebijakan perumahan nasional yang efektif.

Salah satu faktor yang mengakibatkan jumlah backlog terus meningkat, selain keterbatasan fiskal pada sistem pembiayaan perumahan nasional, adalah regulasi yang masih terlalu condong pada penyediaan rumah milik (pivate housing), dan masih kurang mendorong skema penyediaan rumah melalui sistem sewa (public housing).

Hal itu juga ditunjukkan pada terminologi rumah umum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dalam UU itu, rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jadi rumah umum diartikan sebagai rumah milik (private housing).

Karena itu, kemudahan untuk pemilikan rumah lalu diwujudkan dalam berbagai program bantuan pemerintah, seperti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Program Bantuan Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) yang disalurkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk kepemilikan rumah.

Lebih dari 88 persen bantuan tersebut diterima MBR yang bekerja di sektor formal, hanya 12 persen yang diterima oleh MBR yang bekerja di sektor informal (Data Base BLU-PPDPP 2021).  Angka 12 persen itu pun masih menyisakan catatan, kelompok pekerja informal tersebut merupakan pegawai harian di instansi pemerintah yang memiliki bukti slip gaji.

Berdasarkan data keternagakerjaan, jumlah orang  yang bekerja di sektor informal mencapai 60 persen lebih dari angkatan kerja. Dengan demikian, akumulasi penambahan jumlah backlog berasal dari kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal.

Perlu kebijakan yang efektif

Karena itu, kebijakan perumahan yang efektif adalah yang mampu memfasilitasi penyediaan perumahan untuk kelompok pekerja informal. Skema dengan sistem kepemilikan bagi mereka tidak memungkinkan dilakukan melalui mekanisme perbankan. Karena itu perlu ada terobosan lembaga keuangan non-bank untuk memfasilitasi MBR yang bekerja di sektor informal.

Diperlukan penguatan lembaga keuangan non-bank, seperti koperasi.  Dukungan pemerintah dalam penguatan lembaga-lembaga seperti koperasi itu sangat diperlukan.

Baca juga: Backlog Rumah Tembus 12,7 Juta Unit, Mengapa Masih Belum Teratasi?

Dalam menghadapi jumlah MBR berpenghasilan di bawah Rp 8 juta per bulan (sebanyak 70 persen dari penduduk Indonesia), kebijakan perumahan yang efektif dapat berjalan bila proporsi penyediaan perumahan dilakukan secara proporsional antara penyediaan perumahan milik (private housing), sewa (public housing), dan hibah (social housing).

Kondisi tahun 2022, jumlah rumah susun yang dibangun Kementerian PUPR mencapai 5.141 unit. Tidak seluruhnya diperuntukkan buat unit rusun sewa (public housing).  Sedangkan skema FLPP, BP2BT, dan Tapera menargetkan masing-masing 200.000 unit rumah (FLPP), 22.586 unit (BP2BT), dan 109.000 unit (Tapera) khusus untuk apartur sipil negara (ASN).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com