Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurun 2018-2020, Ada 3.145 Kasus Sengketa Pertanahan yang Belum Diselesaikan

Kompas.com - 06/10/2021, 09:00 WIB
Muhdany Yusuf Laksono,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian ATR/BPN masih memiliki ribuan kasus sengketa dan konflik pertanahan yang harus diselesaikan.

Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan RB Agus Widjayanto menyebutkan, terdapat 8.625 kasus sengketa dan konfilik pertahanan periode 2018-2020.

Saat ini yang telah diselesaikan sejumlah 5.470 kasus atau sekitar 63,5 persen. Masih tersisa 3.145 kasus yang masih berjalan proses penyelesaiannya.

Dia menjelaskan, sengketa dan konflik merupakan perbedaan persepsi kepentingan antara dua pihak atau lebih.

Baik antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, individu dengan korporasi, dan lainnya.

Baca juga: Sengketa Tanah Terus Berulang, BPN Ungkap Penyebabnya

Hal itu terutama mengenai status penguasaan dan pemilikan tanah atau keputusan pejabat tata usaha negara di bidang pertanahan.

"Hal ini kemudian muncul ke permukaan sebagai suatu sengketa dan konflik perkara," katanya dalam keterangan pers, Selasa (04/10/2021).

Agus menyampaikan, Kementerian ATR/BPN berkomitmen penuh untuk menyelesaikan penanganan sengketa dan konflik pertanahan.

Di sisi lain, banyak kasus sengketa dan konflik pertanahan bisa sampai timbul di permukaan disinyalir karena proses jual beli maupun peralihan aset tanah yang tidak sesuai prosedur.

Terkait masih maraknya hal tersebut, Agus meminta masyarakat lebih teliti sebelum membeli dan memahami status serta identitas tanah secara lengkap.

Dia juga menjelaskan bahwa berdasarkan pasal 16 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), macam-macam hak-hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai.

"Itu yang tertuang di pasal 16 UUPA, selain macam hak atas tanah tersebut tidak ada," ujarnya.

Baca juga: Kenali Prosedur Jual Beli Tanah yang Tepat

Agus juga menegaskan bahwasanya satu bidang tanah hanya ada satu sertifikat. Jika terdapat sertifikat yang lain, maka sudah dipastikan itu tidak sah.

"Bisa sertifikatnya yang tidak benar maupun alas haknya yang tidak benar. Oleh karena itu salah satu sertifikatnya dapat dibatalkan," tandasnya.

Hal tersebut bisa terjadi karena sertifikat hak status tanah kurang jelas ketika proses jual beli tanah. Dan kasus seperti itu yang kerap terjadi.

Oleh sebab itu, lanjut Agus, proses jual beli harus di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Setelah itu, PPAT akan melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan setempat.

"PPAT itu cek di Kantor Pertanahan, ini ada sita tidak, ada sengketa tidak. Kalau tidak ada baru dipastikan aman dan akan dilakukan pembuatan akta jual beli. Ketika ada akta jual beli baru dapat sah balik nama," terangnya.

Sehingga, celah penipuan terjadi ketika proses jual beli tanah tidak sesuai prosedur itu. Seperti halnya ketika pembuatan akta jual beli tidak dilakukan pemeriksaan terlebih dulu atau bahkan akta jual beli tidak dibuat di hadapan notaris PPAT.

"Kedua, memang bisa saja ada iktikad tidak baik dari salah satu pihak misal dari penjual, bersekongkol untuk berpura-pura menjadi PPAT, bilang akan dicek ternyata malah ditukar sertipikatnya, seperti kasus yang sudah-sudah," tutur Agus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com