Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lahan 1,05 Hektar Warga Mandalika Diklaim Pemerintah, KPA: Bukti Tebang Pilih

Kompas.com - 18/08/2021, 21:30 WIB
Ardiansyah Fadli,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Amaq Saepuddin menolak permintaan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) untuk mengosongkan lahan seluas 1,05 hektar.

Amaq menolak permintaan tersebut karena ITDC dianggap belum membayarkan uang ganti rugi.

Kuasa Hukum Amaq Saepuddin Setia Dharma dari LBH Madani mengatakan, Amaq menguasai lahan itu sejak tahun 1973 yang dibuktikan dengan surat segel pernyataan pembukaan lahan atau penggarapan tahun 1980.

Sementara ITDC melalui surat peringatan pengosongan yang diberikan kepada warga mengeklaim, lahan seluas 1.175 hektar merupakan Hak Pengelolaan yang telah diberikan pemerintah kepada ITDC.

Baca juga: Lahan 1,05 Hektar Milik Warga Diklaim ITDC, Kuasa Hukum Siap Tempuh Jalur Hukum

Di dalamnya termasuk klaim HPL lahan seluas 1,05 hektar milik Amaq Saepuddin.

"Lahan-lahan dimaksud diberikan oleh negara kepada ITDC dalam bentuk HPL untuk dibangun infrastruktur dan dikelola sendiri atau dikerjasamakan dengan mitra kerja sama atau investor sesuai dengan syarat dan ketentuan hukum yang berlaku," bunyi surat peringatan itu.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan klaim HPL pemerintah di atas lahan milik warga menjadi bukti bahwa penyelesaian pendaftaran tanah dilakukan secara tebang pilih.

Menurutnya, percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang saat ini dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) hanya menyasar pada tanah-tanah yang clean and clear.

"Ini bukti kalau pemerintah itu melakukan pendaftaran tanah secara tebang pilih, artinya tidak sistemasis, dan tanah yang didaftarkan sekarang itu ya tanah yang aman dan tak bersengketa," kata Dewi kepada Kompas.com, Rabu (18/08/2021).

Baca juga: Reforma Agraria 9 Juta Hektar Dinilai Lambat, Ternyata Ini Sebabnya

Dewi menambahkan, tumpang tindih bukti kepemilikan tanah ini merupakan masalah warisan masa lalu.

Sistem legalisasi hak atas tanah belum dilakukan pasca kemerdekaan, karenanya, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 memandatkan kepada pemerintah untuk segera melakukan pendaftaran tanah secara sistematis dan dilakukan mulai dari tingkat pedesaan. 

"Sayangnya itu tidak kunjung dijalankan karena keburu orde baru, UUPA tidak diacu lagi, maka timbullah Undang-undang (UU) sektoral, akhirnya UUPA tidak jadi acuan," ucapnya.

Dewi menilai Indonesia termasuk negara yang pendaftaran tanahnya terlambat. Tidak heran jika bukti kepemilikan tanah masyarakat pada masa lalu terutama pasca kemerdekaan yang harusnya sudah dipulihkan namun tak kunjung selesai.

"Karena pemerintah abai melakukan pendafataran tanah masayrat, akhirnya yang terjadi saat ini ya tumpang tindih klaim. Dan terbukti bahwa klaim HPL pemerintah akhirnya menyasar lahan milik warga yang punya bukti tanah berupa sporadik," jelasnya.

Konflik agraria yang dialami Amaq Saepuddin di Mandalika ini hanya salah satu contoh dari banyak masyarakat yang juga mengalami hal serupa.

Dewi menegaskan pemerintah seharusnya tidak hanya gencar melakukan PTSL tetapi juga harus berani menyelesaikan konflik-konflik agraria yang bersifat struktural seperti ini.

Hal itu penting untuk menjamin agar masyarakat terutama yang ada di pelosok pedesaan mendapatkan kepastian hak atas tanah dan sebaliknya tidak menjadi korban dari konflik tersebut.

"Nah konflik seperti ini nih banyak dialami di berbagaio daerah tapi nggak pernah selesai," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com