Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Deddy Herlambang
Pengamat Transportasi

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN)

Pemberlakuan Ganjil Genap Harus Ditinjau Ulang, Berbahaya!

Kompas.com - 06/06/2021, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RENCANA pemberlakuan ganjil-genap di ruas-ruas jalan DKI Jakarta selama pandemi ini, masih sangat memerlukan kajian antar-sektor.

Perlu kita ingat bahwa saat ini kita mau memprioritaskan mencegah sebaran Covid-19, atau kemacetan lalu lintas?

Kalau memang mau mencegah poin sebaran Covid-19 tentunya kebijakan ganjil-genap harus ditangguhkan.

Sebaliknya, bila diterapkan akan terjadi penumpukan atau klaster baru di angkutan umum massal (KRL/BRT).

Pengalaman pertengahan tahun 2020 lalu ketika ganjil-genap diberlakukan, mengakibatkan shifting ke angkutan massal. Akibatnya, angka kenaikan suspect Covid-19 meningkat pula.

Terlebih saat ini setelah masa mudik Lebaran 2021 secara grafis pasien Covid-19 meningkat setiap hari.

Ruang Wisma Atlet Kembali mengalami kenaikan 20 persen keterisian pasien covid (Kompas.com, 2 Juni 2021).

Jadi, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang kebijakan ganjil-genap dan tidak perlu dijalankan  uji-coba kembali bila sarana-prasarana angkutan umum terbatas.

Sampai saat ini kapasitas angkutan umum massal (KRL/BRT) masih dibatasi 40-50 persen, sehingga tiada keseimbangan apabila ganjil-genap diberlakukan.

Kalau pun mengharapkan slot perjalanan KRL ditambah, tidak akan serta merta terpenuhi mengingat jumlah sarananya juga terbatas.

Bila perjalanan KRL ditambah, risikonya adalah headway KRL akan tambah sempit, otomatis pintu perlintasan sebidang jalan akan sering buka-tutup, bahkan akan terus ditutup bila headway menyentuh angka tiap 5 menit.

Apabila kita rekayasa di hulu, work from home (WFH) hanya untuk pekerja formal, sementara pekerja informal tidak bisa menerapkan kebijakan ini karena harus bekerja di lapangan.

Untuk diketahui, jumlah pekerja informal justru lebih banyak dibanding jumlah pekerja formal. Secara umum Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total pekerja Indonesia usia 15 tahun ke atas per Agustus 2019 sebanyak 126,51 juta orang.

Persebaran terbanyak terdapat pada pekerja informal, yaitu mencapai 70,49 juta orang. Angka ini lebih tinggi dari pekerja formal yang hanya 56,02 juta.

Artinya pekerja informal masih memerlukan sarana transportasi umum yang handal, nyaman dan sehat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com