KOMPAS.com - Homo merupakan manusia purba paling maju dibandingkan dengan jenis lainnya.
Manusia purba jenis ini terdiri dari beberapa macam, salah satunya adalah Homo Soloensis.
Fosil-fosil Homo Soloensis ditemukan di Ngandong, tepi Bengawan Solo, dan Sangiran serta Sambungmacan (Sragen) dari penggalian yang dilakukan oleh Willem Frederik Florus Oppenoorth, Carel ter Haar, dan G. H. R. von Koenigswald pada 1931 hingga 1933.
Fosil yang ditemukan terdiri dari 14 tengkorak, 2 tulang kering, dan tulang panggul.
Diperkirakan Homo Soloensis adalah evolusi dari Pithecanthropus Mojokertensis yang hidup sekitar 117 hingga 108 ribu tahun lalu pada Zaman Pleistosen Akhir.
Oleh sebagian ahli, Homo Soloensis digolongkan dengan Homo Neanderthalensis yang merupakan manusia purba jenis Homo Sapiens dari Asia, Eropa, dan Afrika.
Baca juga: Pithecanthropus Erectus: Penemuan, Ciri-ciri, dan Kontroversi
Kehidupan Homo Soloensis sudah lebih maju daripada manusia purba lainnya. Mereka memiliki volume otak yang mendekati manusia masa kini.
Mereka memiliki berbagai peralatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mempertahankan hidup dari berbagai ancaman.
Alat-alat yang dimaksud berupa peralatan dari tulang binatang, perkakas dari serpihan dari batu (flakes), dan ujung tombak yang bergerigi pada sisi-sisinya.
Karena ditemukan di daerah Ngandong, alat-alat tersebut dikenal sebagai Kebudayaan Ngandong.
Baca juga: Meganthropus Paleojavanicus: Penemuan, Kehidupan, dan Ciri-ciri
Sebagian flakes yang ditemukan terbuat dari batu-batuan indah kalsedon, menandakan masyarakatnya telah mengenal seni.
Peralatan dari tulang binatang diperkirakan digunakan untuk mengorek umbi-umbian dari dalam tanah, sementara tombak yang bergerigi dimanfaatkan untuk menangkap ikan.
Homo Soloensis kemungkinan besar mendiami lingkungan hutan terbuka bersama dengan gajah, harimau, tapir, kuda nil, dan banyak lainnya.
Penyebab punahnya Homo Soloensis memang masih menjadi teka-teki, namun beberapa faktor berikut ini diduga menjadi alasannya.
Referensi: