Oleh: Ninawati*
SEOLAH tidak putus-putusnya film Ngeri-ngeri Sedap membuat kejutan. Keberhasilannya dalam menggaet rekor penonton, misalnya, adalah kejutan yang dibicarakan banyak orang. Betapa tidak?
Semula film ini ditargetkan ditonton 500.000 orang. Kenyataannya sampai dengan hari terakhirnya diputar di gedung-gedung bioskop ditonton lebih dari 2,8 juta orang.
Angka yang membuat film ini sebagai film Indonesia dengan naskah asli terlaris sepanjang masa.
Kejutan berikutnya adalah film karya Bene Dion Rajaguguk ini dipilih oleh Komite Seleksi Oscar Indonesia 2022 mewakili Indonesia bersaing dengan film dari negara lain dalam seleksi nominator Oscar 2023 untuk kategori film berbahasa asing (non Inggris), The International Featured Film.
Namun barangkali kejutan paling keren dari film ini adalah keberhasilannya dalam menggambarkan identitas budaya Batak. Utamanya tentang bagaimana (semestinya) menyikapi identitas budaya.
Benar, identitas memang dapat diartikan sebagai “akar” (root). Tetapi identitas dapat juga diartikan sebagai “route”.
Ia adalah peta yang ditempuh si pemilik identitas (komunitasnya) dalam berhadapan dengan permasalahannya.
Penyikapan identitas sebagai “route” inilah yang kiranya diperlukan dalam masyarakat multi-etnis seperti Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan yang mempunyai wilayah paling luas di antara negara-negara kepulauan lainnya.
Indonesia memiliki lebih dari 205 etnis tersebar di sekitar 14.000 pulau (Warnaen, 2002). Oleh karenanya, Indonesia sering disebut sebagai negeri multi-etnis, multi-kultural.
Kondisi multi kultural itu mengandaikan masing-masing etnis memiliki kultur yang berbeda. Itu juga berarti masing-masing etnis tidak saja mempersepsikan dirinya sendiri secara beragam, tetapi beragam pula persepsi mereka terhadap pihak lain.
Menurut Roosseno (2015), persepsi kesukuan atau kedaerahan belum berubah meskipun telah ada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 ataupun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Bagi Rooseno, Indonesia adalah suatu mozaik etnisitas, sementara kesatuan nasional masih berupa cita-cita.
Dengan keragaman seperti itu masing-masing etnis memiliki life world-nya sendiri-sendiri, yang berbeda antara satu dengan lainnya.